Thursday, April 4, 2013

SELAMAT DATANG DI PAROKI KHAYAL

Selamat datang di Paroki Khayal! Sebuah paroki yang sangat terkenal dengan kehidupan iman yang absurd. Keberadaannya selalu saja mengundang tanda tanya, kadang pula tanda seru, tanda petik, koma, titik dua, sama dengan, dsb. Pasalnya, yang hidup di paroki ini bukan hanya “Gerejanya” (umatnya) tetapi juga “gerejanya” (bangunannya). Setiap hari, umat paroki Khayal yang datang beribadat selalu di sambut dengan hangat oleh setiap sudut gereja ini.

Buktinya ketika seorang ibu datang ngeloyor masuk sekedar untuk mengambil Warta Paroki, bejana air suci langsung menyapanya, “Selamat siang, Bu. Silahkan ambil air suci dulu, untuk mengingatkan Ibu pada rahmat Baptisan, dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin”. Dengan tersenyum, ibu itu menuruti perkataan bejana. Lain lagi ketika seorang bapak hendak pulang setelah berdoa di Gua Maria. “Pak, nggak mampir dulu? Masa bertamu hanya sampai di halaman saja? Masuklah, Pak, walaupun cuma untuk menyapa Sang Tuan Rumah.” kata altar kecil di depan Gua Maria. Dengan agak sungkan, Bapak itu masuk ke dalam gereja dan menyapa Tuhan. Beda pula dengan beberapa orang yang datang untuk berdoa memohon berkat dan bantuan Tuhan agar lulus dalam ujian hidup. “Kembalilah kemari untuk bersyukur bila kalian berhasil melewati ujian nanti. Jangan lupa, kita harus mengingat Tuhan bukan hanya dalam kesulitan tetapi juga dalam keberhasilan.” kata serangkai bunga di bawah altar. Tak jarang pula gambar-gambar perhentian Jalan Salib, patung Hati Kudus Yesus, patung Bunda Maria, Tabernakel, dan semua benda-benda suci lainnya berusaha mengingatkan kaum muda untuk tidak melupakan kekayaan doa dan devosi Gereja yang memberi banyak kekuatan bagi manusia. “Supaya kaum muda semakin kuat imannya. Mereka itu kan penerus Gereja.” begitulah pendapat patung Corpus Christi yang terpancang di belakang altar. Buku Puji Syukur dengan senang hati akan meminjamkan dirinya kepada mereka yang tidak mampu membeli buku ini, atau kepada mereka yang PSnya tertinggal di rumah, bahkan juga kepada mereka yang memang sengaja tidak membawa dengan alasan (pura-pura) lupa, berat, repot, dll. Kipas angin di tiap sudut gereja akan menyala dengan sendirinya bila melihat ada umat yang kepanasan selama Misa. Ruang Sakristi dengan segala perlengkapannya akan dengan suka hati mendandani penampilan para pelayan Tuhan. Dari yang jubahnya kependekan sehingga mirip celana perang zaman Napoleon; yang rambutnya awut-awutan seperti kena badai tornado; yang talinya kepanjangan mirip kambing pak Mamat yang lepas; semuanya itu akan beres sebelum Ekaristi dimulai. “Supaya Misa bisa berlangsung dengan khidmat tanpa ada yang tampak mencolok di mata” kata Sakristi ketika diminta berkomentar. Tentu saja, sebelum Misa, kamar pengakuan dosa akan berbisik memanggil mereka yang belum pantas menyambut Komuni karena dosa besar maupun karena timbunan dosa kecil yang menumpuk bertahun-tahun tanpa absolusi.

Demikianlah setiap kali, gereja selalu mengingatkan Gereja akan imannya dan berusaha untuk selalu meningkatkan mutu kehidupan iman yang sesuai dengan ajaran Kristiani. Maka tak heran bila umat di paroki Khayal ini terkenal akan religiusitas dan tingkat kesuciannya yang amat tinggi. Mulai dari yang masih balita sampai yang sudah sepuh, semua setia untuk menampakkan imannya kepada Tuhan. Umat di paroki Khayal merasa beruntung karena memiliki gereja hidup yang sedemikian baiknya. Pokoknya masalah ibadat di gereja, semuanya beres, nggak usah pusing dan yang penting umat bisa menjalankan kegiatan ibadahnya dengan tenang dan damai.

“Damai…?!?” kata altar dengan suara agak keras. “Apanya yang damai?!? Jangan sembarangan dong kalau nulis!!! Memang umat paroki Khayal ini senang dengan kami. Tetapi kami, gerejanya, TIDAK!!!…. Ayo gereja, sudah saatnya kita protes!!!” teriak altar menggelegar. Tiba-tiba semua benda yang ada di gereja itu bergerak dengan riuhnya. Suara grobyak, plethok, gedhubrak, jedhèèèr, krompyang, ghabrukh, dhuaarr, klontang dan seruan-seruan amuk mulai berbaur menjadi satu menghasilkan sebuah simphoni sumbang. Suasananya mirip massa di kerusuhan 13 Mei 1998. Tak ada satu benda pun yang tidak terlibat dalam aksi protes ini. Semuanya porak-poranda, membahana dan menjerit bagai kesetanan. Memekakkan dan mengerikan! Keadaan menjadi gawat. gereja Khayal hampir runtuh.

Melihat keributan yang terjadi di gerejaNya, Tuhan mengutus seorang malaikat untuk segera memeriksa apa yang terjadi dan membuat tindakan pengamanan yang perlu dilakukan. Dengan pesawat Mega Super Sonic milik Surga-Air, malaikat pun melesat dan mendarat di tengah-tengah pelataran gereja Khayal. Aksi protes masih terus berlangsung, keadaan makin bertambah gawat.

“Stooooppp!!!!” teriak Malaikat itu. Dalam sekejap kekacauan berhenti menjadi keheningan. “Weleh weleh…kalian ini kenapa kok bikin rusuh begini? Ributnya itu lho, sampai ke ruang Kapel di Surga. Pujian kami kepada Tuhan menjadi terhenti gara-gara ulah kalian. Hayo sekarang cerita, ada apa sebenarnya?” tanya Malaikat itu. “Gini lho,… kami PROTES!!!” kata Tabernakel yang sudah ngeleat-ngeleot nggak karuan. ”Iya, kami protes, kami tidak mau lagi menjadi gereja milik paroki Khayal!”. “Iya…tuuulll….setujuuuu….!!!” sorak-sorai kembali terdengar. Malaikat mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan massanya sambil berkata, “Lho kenapa? Bukankah kalian malah beruntung bisa membantu umat Allah untuk beribadat lebih giat? Bukankah kalian senang melihat umat khusyuk selama Misa? Bukankah kalian bersyukur punya umat yang suci, rajin, setia, tekun, baik, dan…”

“Haaaahhh….KLISE!!!” kalimat Malaikat dipotong oleh Gong yang selalu benjol walau tidak dipukul sekalipun. “Klise? Apanya yang klise?” tanya Malaikat heran. “Jelas saja imannya yang klise. Umat di paroki Khayal memang rajin beribadat bahkan sampai-sampai paroki ini tenar dengan sebutan Paroki Santo dan Santa. Tetapi imannya lembek kayak tempe, kosong kayak balon, melempem kayak kerupuk. Kelihatannya saja bagus, tapi dalamnya jelek.” kata Bantal. “Kami bosan jadi gereja Khayal. Setiap kali kami berusaha mati-matian supaya dapat membantu dan mendukung umat dalam ibadatnya. Setiap kali kami direnovasi, dipermak ini-itu, ditambah ini-itu semata-mata supaya umat bisa beribadat dengan lebih baik. Tapi hasilnya tetap saja nihil. Ibadat berkembang tanpa iman” tambah Lonceng. “Kami berusaha membantu mereka, tapi mereka tidak pernah berterima kasih pada kami. Selalu saja kami yang melayani kebutuhan mereka namun mereka tak pernah menjaga keberadaan kami. Ini khan namanya jadi hubungan satu arah bukannya hubungan timbal-balik!” kata Kantong Kolekte.

“Maksudnya bagaimana? Coba jelaskan lebih detail” kata Malaikat. “Lihat saja. Di dalam gereja jabat tangan Salam Damai, tapi begitu masuk mobil, klakson dan umpatan makian dari kebun binatang langsung berbunyi.” kata Pintu gereja. “Iya tuh. Belum lagi mereka yang datang dengan baju nggak karuan. Ada yang pakai celana pendek serasa di pantai, ada yang norak pakai perhiasan gemerlap dan dandanan yang menor, ada yang (mungkin saking menghayati kaul kemiskinan) bajunya agak kekurangan bahan, sampai-sampai, udhel dan bulu ketek pun bisa memamerkan diri” sambung sebuah Lampu Gantung. “Udah gitu kalau lagi Misa, banyak yang men sana in corpore sini, artinya badannya di sini tapi pikirannya di sana entah kemana. Ada yang mimpi pas Pastornya khotbah, iya kalo mimpinya nyambung sama khotbahnya, kalo nggak? Belum lagi mereka yang suka bikin homili sendiri, baik dengan bisik-bisik ke orang yang duduk di sebelahnya maupun dalam hati. Belum lagi kalau Hp berbunyi, belum lagi yang datang pas homili pulang habis komuni, belum lagi yang main gamewatch selama Misa, bahkan ada juga yang istirahat pas Misa alias jajan. Gimana nggak kesel coba???” kata Mimbar. “Jangan lupa, banyak pula yang sudah tidak menghormati Sakramen Maha Kudus. Antri Komuni seperti ngantri karcis bioskop, sambil ngelirik kanan-kiri mencari-cari siapa tahu ada lawan jenis yang sedap dipandang mata dan ‘hap’ setelah hosti masuk mulut lalu ‘krenyes krenyes krenyes, glek!’ seperti makan keripik singkong.” kata Piala. “Itu kalau Misa. Coba lihat sesudahnya. Lembaran Misa, Warta Paroki dan Puji Syukur dibiarkan tergeletak sembarangan. Tissue bekas berserakan di belakang bangku umat. Padahal aku dan teman-teman kan ada di setiap sudut!” kata Tong Sampah. “Lalu dimana letak keimanan dan kesucian mereka?” teriak gereja serentak.

“Kalian ini bagaimana sih? Kalian kan mampu berbicara, bisa menegur dan mengingatkan umat kalian itu? Kalian bahkan mampu membimbing mereka satu persatu supaya mereka sungguh dapat menjadi umat Allah yang sejati.” kata Malaikat. “Memang itu benar. Masalahnya, Gereja sudah tidak peka lagi pada gerejanya. Yang peka hanya sedikit, sisanya acuh tak acuh. Perwujudan iman mereka seperti layaknya pertunjukkan wayang golek. Kami dalangnya, kami yang menggerakan mobilitas kehidupan religius mereka. Mereka sudah tidak mau berjuang mengembangkan sendiri kehidupan imannya. Mereka menjadi manja dan menggantungkan mutu iman pada kami. Padahal kami ini kan sebenarnya hanya faktor pendukung saja. Mereka sudah tidak mau lagi mendengarkan kami. Kami lelah jadi gereja paroki Khayal!” kata Organ.

“Ya sudah, tenang dulu. Sekarang apa yang kalian inginkan sebagai tuntutan aksi protes kalian ini?” tanya Malaikat. “Jadikan kami gereja paroki REAL!!!” seru gereja Khayal. “Baik, permohonan kalian akan kusampaikan kepada Tuhan. Tapi ingat, di paroki Real, kalian hanya akan menjadi bangunan fisik dan benda mati alias gedung gereja biasa.” Jawab Malaikat.

Pendek kata, Tuhan mengabulkan permohonan mereka. gereja Khayal diubah menjadi gereja Real. Bagaimana kelanjutan hidup gereja Khayal setelah berubah menjadi gereja Real? Merasa damai dan bahagiakah mereka? Mau tahu kelanjutan kehidupan gereja Real? Silahkan datang ke gereja di kota Jakarta ini, dan simaklah sendiri. Siapa tahu Anda masih bisa mendengar mereka berbicara.



~bathtub, somewhere in 2003~

No comments:

Post a Comment