Thursday, April 4, 2013

RENGEKAN SELAMA MISA

dimuat di Majalah Hidup, Feb th.2008
=========================================================================

Untuk sekian kalinya, wanita yang duduk dua deret di depanku menoleh padaku. Wajahnya memberi pesan yang sama: “Bawa anak itu keluar!”. Aku menunduk menghindari tatapannya. Kudekap anakku sambil mencium pipinya. Anakku diam sejenak, kemudian mulai rewel dan merengek-rengek lagi. Naluriku sebagai ibu tahu betul bahwa anakku tidak betah. Ia tidak nyaman berada di antara kerumunan orang yang tidak ia kenal. Ia juga pasti ingin berjalan kesana-kemari sebagaimana layaknya seorang anak yang baru lancar berjalan. Sekali lagi anakku merengek keras dan panjang. Kali ini bapak yang berdiri di sebelahku menarik nafas panjang dan menggaruk-garuk telingannya. Dia mengatakan sesuatu kepadaku, namun aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya.

Umat berlutut. Aku ikut berlutut sambil terus mendekap anakku. Doa Syukur Agung mulai dipanjatkan. “Sabar ya, Nak…” bisikku perlahan-lahan. Kubantu anakku berdiri. Kukatupkan kedua tangan mungilnya dalam tanganku. “Kita berdoa ya, Nak…” bisikku sekali lagi pada telinganya. Tentu saja, ia tidak bertahan lama dalam posisi sembahyang itu dan mulai merengek-rengek lagi. Seorang wanita usia senja menoleh. Ia melihatku kemudian melirik ke arah pintu. Pesannya sama: “Keluar! Rengekan anakmu itu mengganggu Misa!”. Aku menarik nafas panjang dan menunduk. Aku tahu rengekan anakku pasti sangat mengganggu ketentraman umat, namun aku tak tahu bagaimana harus menenangkannya. Di tasku ada botol susu dan biskuit yang ia sukai. Itu bisa saja membuatnya diam, namun aku tidak mau memberikannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak beriman yang dapat menghargai perayaan Ekaristi. Aku melirik ke arah pintu di sampingku. Di satu sisi aku merasa harus membawa anakku keluar agar tidak mengganggu ketentraman Misa, namun di sisi lain ada rengekan rindu dalam hatiku. Aku rindu memperdengarkan satu Misa utuh kepada anakku. Aku menyesal bahwa aku pernah membiarkan Misa lewat begitu saja dalam hidupku. Sekarang aku tak bisa lagi mendengarnya.

Hosti besar diangkat oleh Imam, diletakkan, diikuti dengan sembah sujud. “Itu Yesus, Nak…” bisikku pelan. Anakku tak peduli dan tetap merengek sambil menarik-narik bajuku. Piala diangkat, diletakkan, sujud. “Itu Yesus…” bisikku untuk kedua kalinya. Anakku melihatnya tapi ia tidak tertarik. Ia malah melompat-lompat di bantalan tempat berlutut. Kembali kudekap anakku. Aku bisa merasakan ia menjerit menolak. ‘Ya Tuhanku dan Allahku, bersabarlah dengan kami’ doaku dalam hati. Ini bukan pertama kalinya ia kuajak dalam Misa. Sekian Misa kami lalui bersama, namun tidak pernah tuntas. Aku selalu keluar sebelum Misa selesai karena anakku terlalu rewel dan orang-orang di sekitarku terganggu oleh rengekannya.

Seandainya suamiku masih disini, mungkin ia tahu apa yang harus diperbuat. Pikiranku melayang pada lelaki yang telah meninggalkanku tiga tahun yang lalu. Gambaran wajahnya kembali menghantui pikiranku. Dia meninggalkan kami setelah insiden ledakan itu, setelah ia tahu dampak dari kejadian itu, setelah ia tahu bahwa aku sedang mengandung anaknya. Ia tahu…tapi entahlah. Mungkin ia takut dimintai pertanggungjawaban atas ikrar: aku berjanji setia dalam untung dan malang. Air mata mulai menggenangi mataku. ‘Dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat’ seruku dalam hati bersama dengan umat.

Anakku mulai memukuli aku dan berteriak-teriak. Kembali ia kugendong dan kudekap. Seorang pemuda yang duduk di depanku menggeleng-geleng. Aku tidak mendengarnya, namun dari gerak bahunya yang naik lalu turun mendadak, aku tahu bahwa ia pasti mendengus kesal. “Sabar ya, Nak. Ini bukan salahmu. Kamu memang belum tahu bagaimana bersikap dalam Misa’ kataku dalam hati sambil menatap mata anakku. Ia tidak membalas tatapanku, malahan ia mulai meronta-ronta minta dilepaskan dari dekapanku.

Umat mulai bersalaman. Aku tersenyum sambil mengulurkan tanganku pada umat yang berdiri sekitarku. Mereka membalas. Namun aku bisa merasakan keterpaksaan dalam senyum dan salam itu. Mereka terganggu dengan rengekan anakku. Tapi mereka terpaksa melakukannya karena itu adalah bagian dari ritual Misa. Hatiku terasa sakit dan tiba-tiba saja telingaku juga ikut terasa sakit.

Sejak insiden ledakan itu, telingaku sering sakit. Kedua gendang telingaku pecah karena suara yang begitu keras. Insiden itu terjadi saat aku sedang mengandung anakku ini. Aku tidak tahu apa kaitannya, namun yang aku tahu, sebelum aku melahirkan, dokter mengatakan bahwa anakku akan memiliki kecacatan mental. Ia tidak bisa berinteraksi dengan orang lain. Ada satu hal yang kusyukuri: anakku masih bisa mendengar.

“Anak Domba Allah…kasihanilah kami…Anak Domba Allah…berilah kami damai…” Kudoakan suamiku. Aku tak pernah membencinya. Aku sungguh mengerti bagaimana ia tidak siap menghadapi kenyataan bahwa istrinya harus tuli selamanya, bagaimana ia harus mendidik anaknya yang cacat mental, bagaimana ia harus menjelaskan pada orang lain bahwa insiden ledakan mobil kami hanya disebabkan oleh keisengannya bermain petasan bersama bocah-bocah di kompleks. Ia begitu merasa bersalah. Lantas malam itu, ia pergi diam-diam meninggalkan kami. Kenyataan memang pahit, namun aku bisa mengerti kepergiannya. ‘Ya Tuhan, saya tidak pantas…’ Kudoakan anakku. Betapa tak pantasnya anakku didatangi Tuhan. Ia sering rewel dan nakal. Namun ia melakukannya karena butuh. Ia butuh didengarkan dan diperhatikan, lebih dari yang dapat diberikan oleh ibu kandungnya ini. Seandainya aku masih bisa mendengar…‘Bersabdalah saja maka saya akan sembuh’

Meski berontak, kugedong paksa anakku dan kami melangkah maju menyambut Komuni. Aku tahu anakku berteriak dan semua mata memandang kami. Kubenamkan wajahnya di dadaku. Betapa irinya aku pada umat. Kalian bisa mendengar rengekan anakku, sementara aku tak pernah sekalipun tahu seperti apa suara anakku ini. Tubuh Kristus kusantap. Kuturunkan dia dari gendonganku. Kupandangi ia yang diberkati ImamNya, lalu kutuntun kembali ke bangku umat. Kudekap dia erat-erat tanpa mempedulikan erangannya, tanpa peduli umat di sekitarku.

Berkat meriah diberikan. Umat mulai beranjak satu persatu. Beberapa diantaranya sempat menoleh kepadaku. Aku tak peduli. Aku berdiri sampai koor selesai menyanyikan lagu penutup. Air mataku meleleh. Kerinduanku terpenuhi hari ini. Aku ingin anakku mendengarkan satu perayaan Ekaristi utuh. Kucium pipi anakku. ‘Selamat Ulang Tahun, sayang… Hanya ini yang bisa kuberikan kepadamu. Semoga kelak kamu tidak menyia-nyiakan setiap Misa yang kamu dengarkan’



Jkt, 01.XI.08

No comments:

Post a Comment