Thursday, April 4, 2013

BUKU HARIAN SEORANG SEMINARIS

Posted in http://www.pondokrenungan.com/
=======================================================================
 
Minggu, 29/7/01

Tuhan,
Tadi pagi Kau bangunkan aku lewat kokok ayam di luar jendela kamarku. Pagi masih gelap. Matahari belum terbangun, sama seperti mereka yang barangkali masih bertualang di alam mimpi. Memang, inilah rutinitasku sebagai seorang seminaris. Sedikit berbeda dari kehidupan orang biasa. Namun, hari ini Romo memberi kami satu hari bebas. Setelah sarapan pagi, kami boleh melakukan apa saja yang kami mau asalkan tidak merugikan orang lain.

Tuhan, hari bebas ini kupergunakan untuk keluar dari keheningan seminari dan aku berjalan di antara hiruk-pikuk kota Jakarta. Kulihat banyak orang lalu-lalang membiayai hidup. Asap polusi sedikit mengaburkan pandangan mataku karena roda kehidupan yang terus berputar. Lalu kuarahkan langkahku ke suatu tempat dna kutengok suatu sudut dekat jalan raya. Ah, warung pojok itu masih ada. Itu salah satu tempat dimana aku sering mangkal bersama teman-temanku dulu. Di sana pula masih kutemukan wajah-wajah mereka.
Tuhan, alangkah senangnya dapat berkumpul lagi bersama mereka, membicarakan tingkah-tingkah kami yang nakal dulu, menertawakan masa-masa yang telah lewat, sampai akhirnya kami berbincang soal jalan hidup manusia.

Mereka semua tersentak berpaling kepadaku dan bertanya, “Mengapa engkau memilih jalan hidup seperti itu?” dan aku menjawab, “Karena itu panggilan Tuhan yang hendak membawaku kepada kebahagiaan” dan sedetik kemudian kudengar gelak tawa mereka. Mereka memandangku seolah-olah aku adalah seseorang yang aneh karena memilih hidup selibat, sementara orang memikirkan keluarga yang bahagia dan sejahtera dengan istri yang cantik dan anak-anak yang manis. Mereka menganggap aku orang yang bodoh dan tolol karena memilih mengekang diri dengan segala aturan yang ketat di seminari, padahal sebenarnya aku bias bebas dan berbuat apa saja yang aku inginkan seperti mereka. Merasakan asyiknya menjadi penguasa harta benda, menikmati indahnya masa muda, dan merasakan betapa menyenangkannya bila sedang kasmaran dan jatuh cinta. Mereka juga mengatakan betapa aku akan merasa rugi hidup dalam ketaatan penuh, di suruh ini dan itu, disuruh kesana kesini, belum lagi kalau melakukan kesalahan, sudah dimarahi oleh romo dan frater, masih juga ditambah hukuman yang aneh-aneh.

Tuhan, semua ini membuat aku kesal, iri dan tergoda. Terlebih ketika mereka mencemoohkan aku dengan beranggapan bahwa aku orang yang abnormal karena mencari kebahagiaan di antara kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan. Hampir saja aku menyuruh mereka untuk berhenti bercelothe dan melontarkan kata-kata yang kasar untuk membalas semua perkataan mereka.

Tuhan, tak mungkin aku memungkiriMu tentang hal ini, namun aku yakin, Engkau pasti tahu, bahwa sesungguhnya aku pun ingin merasa bebas, aku juga ingin hidup seperti layaknya orang muda, aku ingin terlena oleh kebahagiaan duniawi. Aku ingin hidup seperti dulu. Tidak banyak aturan, tidak banyak tuntutan, tidak banyak persyaratan. Aku ingin hidup sebagaimana adanya teman-temanku dan menikmati masa mudaku dengan keceriaan.

Namun sore tadi aku pulang dan merenungkan kembali panggilaMu dan jalan hidupku. Aku menyadari betapa sulitnya perjuangan yang telah kulakukan untuk menjawab bisikanMu, ketika aku harus memohon restu dari orangtuaku karena aku anak semata wayang, juga teman-temanku yang selalu butuh canda tawaku, dan yang paling sulit adalah ketika aku pada akhirnya harus berhadapan lagi dengan diriku sendiri yang bergulat dalam keragu-raguan, sampai akhirnya aku kembali kepadaMu, pasrah terhadap kehendakMu, Tuhan.

Aku melihat bahwa semua ini terjadi karena keegoisan. Semua yang dipikirkan hanyalah aku dan diri mereka sendiri. Sungguh sulit rasanya untuk membuka mata mereka bahwa masih ada dunia yang memerlukan aku dan diri mereka sendiri. Aku tak tahu bagaimana caranya menerangkan kepada mereka bahwa mereka dapat menjadi berkat dan perpanjangan tanganMu bagi banyak orang. Bagaimana aku dapat menjelaskan misteri panggilanMu yang bergema di hati setiap orang, dimana Engkau menyediakan kebahagiaan dengan cara yang amat ajaib dan istimewa.

Tuhan, meski batinku bergolak pada hari ini, tapi lewat rutinitasku sebagai seorang seminaris, aku dapat sering bertemu denganMu dan itu semua menyadarkan aku bahwa sebenarnya aku merasa bahagia. Aku bahagia melewatkan hari-hariku dengan bekal untuk menjad seorang imam. Aku bahagia berada dalam lingkaran kemiskinan, ketaatan dan kemurnian, bahkan aku khawatir kalau-kalau ada yang merampas kehidupan yang membuat aku menjadi bahagia, sekalipun aku tak mengerti apa yang membuatku bahagia. Tuhan, bisikanlah suaraMu pada mereka dan tunjukkan jalan kebahagiaan yang Kau sediakan bagi mereka. Semoga dengan rela mereka mau menyerahkan dirinya kepadaMu dan ikut dalam mewujudkan kerajaanMu di dunia ini demi kebahagiaan setiap insan dan kemuliaan namaMu.

Tuhan, satu hari ini sudah hampir lewat. Biarlah kututup sementara buku harian ini dan esok sudilah Engkau isikan halaman-halaman berikutnya lewat hari-hariku yang membahagiakan.


Jkt, 29 Juli 2001
Posted in http://www.pondokrenungan.com/

1 comment: