Saturday, December 4, 2010

Refleksi: Hidup Sederhana

Kata sederhana bukanlah kata yang asing bagi kita dan hampir semua yang fasih berbahasa Indonesia memahami arti kata ini. Sederhana bisa berarti bersahaja, tidak berlebihan, tidak mewah, biasa saja, dll. Simple dan mudah. Namun menjadi tidak terlalu simple dan mudah ketika kita gabungkan dengan kata “hidup”. Istilah “hidup sederhana” toh tetap tidak asing juga. Sejak duduk di bangku sekolah kita sudah diberi teori budi pekerti agar hidup sederhana sehingga bisa diterima dalam masyarakat. Yang mungkin asing ialah perwujudannya dalam hidup kita.

Tadinya saya tidak begitu peduli dengan cara hidup sederhana, namun setelah mulai bekerja dan merasakan jerih lelah sendiri, saya bertekad untuk hidup lebih sederhana. Maka, selama beberapa tahun terakhir ini saya mencoba menghidupi semangat hidup demikian. Bagi saya hidup sederhana bukan berarti secara radikal membuang harta benda yang saya miliki melainkan mempergunakan apa yang saya miliki sekarang ini secara semestinya dan secukupnya. Bila yang saya miliki lebih, maka saya mempunyai ‘hak istimewa’ untuk memberikannya kepada orang lain.

Sebagai contoh, saya hanya memiliki satu bolpen pasaran yang benar-benar menjadi kepunyaan saya. Mungkin orang bijaksana akan menilai saya bodoh karena tidak antisipasi kalau-kalau bolpen saya macet, namun bagi saya itu tidak terlalu penting karena toh selama di tempat kerja ini saya jarang menulis dengan bolpen. Biasanya saya hanya menggunakan bolpen untuk menulis buku harian dan catatan-catatan rapat. Lalu kalau bolpen itu hilang? Kalau dulu saya pasti dengan mudahnya akan berpikir “Halah… bolpen pasaran… ilang ya beli lagi!”… tapi sekarang, karena hanya punya satu maka saya berpikir “Cari sampai ketemu, kalau tidak ya menulis dengan pensil… kalau tidak punya alat tulis ya rasain… siapa suruh ceroboh…!”. Kejadian saya kehilangan bolpen tidak hanya terjadi sekali dua kali namun berkali-kali karena saya memang termasuk tipe yang ceroboh. Beberapa kali saya putus asa dan berpikir untuk membeli bolpen pasaran baru, namun kalau begitu terus kapan saya bisa mendidik diri saya sendiri? Begitu pikir saya. Untunglah bolpen saya selalu ketemu.

Dengan kisah satu bolpen ini saja, saya menyadari ada sesuatu yang menarik. Bolpen yang hanya satu itu membuat saya harus benar-benar lebih perhatian untuk merawat dan menjaga bolpen itu agar tidak hilang. Kedua, saya bisa menggunakan bolpen itu secara maksimal, sampai tintanya benar-benar habis. Rasanya puas ketika bisa menggunakan barang sampai titik daya gunanya yang paling jauh. Seakan-akan mengatakan harga yang kita beli tidak sia-sia. Ketiga, ‘persahabatan’ saya yang lama dengan bolpen itu telah membuat saya benar-benar merasa nyaman untuk menggunakannya dan tidak ingin menggantinya dengan bolpen yang lebih mahal ataupun lebih keren selama isi tinta bolpen itu belum habis. Keempat, saya lebih bebas dan kreatif. Kalau tidak ada bolpen itu ya tidak masalah. Saya bisa menggunakan alat tulis yang lain atau media lain. Kelima, saya lebih bisa memusatkan pikiran dan hati pada apa yang seharusnya dan lebih penting untuk saya pikirkan saat itu, misalnya terhadap apa yang saat itu sedang saya tulis.

Lama kelamaan, kebiasaan ini menular terhadap barang-barang saya yang lain seperti pakaian, buku catatan, bedak, de-el-el bahkan sampai masalah kopi. Ternyata semakin saya menghayati hidup sederhana, saya semakin hemat, semakin merasa bebas dan malah bisa semakin merasa “kaya” karena apa yang saya miliki benar-benar cukup sehingga rasanya tidak perlu mengeluarkan biaya untuk hal yang tidak benar-benar penting dan mendesak.

Hal lain lagi yang menurut saya penting dalam perkembangan hidup rohani saya ialah dimana saya meletakkan fokus hidup saya. Saya tidak terlalu berfokus pada harta duniawi yang saya miliki. Benar bahwa harta duniawi itu dalam kadar tertentu menjadi hal yang esensi untuk menjaga kelangsungan hidup, maka saya menjaga harta yang saya miliki dan menggunakannya dengan semestinya. Belakangan saya lebih berfokus pada bagaimana saya mengembangkan diri untuk dapat berelasi lebih baik dengan sesama dan dengan Tuhan.

Hidup sederhana membuat saya lebih peduli terhadap kebutuhan sesama, tidak pelit dan bahkan merasa senang ketika bisa berbagi dengan orang lain tanpa merasa bagian saya berkurang. Hidup sederhana juga membuat saya mampu bersyukur lebih banyak. Bukan hanya karena harta benda yang saya miliki namun juga atas kejadian-kejadian dalam hidup dan diri pribadi beserta pernak-perniknya (tubuh, bakat, talenta, masa lalu dll). Akhirnya doa yang tadinya berisi rentetan permohonan, menjadi lebih banyak dipenuhi dengan rasa syukur terlebih karena dapat menikmati intisari kehidupan itu sendiri yang tidak berpusat pada barang. Yang paling penting adalah, hidup sederhana membuat saya lebih bahagia. Lebih lagi karena saya bisa merasakan bahwa Tuhan hadir berperan dalam hidup saya dan Ia mencukupi apa yang saya perlukan.

Mari selama sisa masa Adven ini kita mencoba hidup sederhana mulai dari hal-hal yang kecil, sehingga kita bisa menghayati bahwa Kristus yang kita nanti-nantikan ternyata tinggal dan hadir begitu dekat dengan kita.



RRGN, 4.XII.10.20.55



-owl-