Nafasnya
memburu. Kaki mungilnya bergegas bak seekor kuda dipecut guna menarik
kencananya. Dua mata kecilnya tak lepas menyorot ke tempat yang ia tuju.
Tangannya menggenggam sekantong makanan. Ia melesat tanpa menghiraukan
orang-orang yang heran memandang dirinya. Hendak kemana ia? pikir banyak orang
yang berlalu tanpa jawaban. Bocah kecil itu pun tidak berminat untuk berhenti
dan menanggapi. Ia berlalu begitu saja.
“Mati kau!”
seru yang bongsor berkulit gelap. “Ah,.. sialan…!!!” timpal si jangkung sambil
menepuk dahinya. Beberapa yang lain tertawa terbahak-bahak melihat
kerikil-kerikil kecil yang kocar-kacir pada tanah bergurat garis-garis. “Ayo…
lagi!... Ya… main lagi… jangan jadi pengecut… hahaha….!!!” Hingar-bingar
sekelompok pemuda itu semakin seru. Beberapa di antara mereka membuka topi
besinya dan menyeka kepalanya yang berkeringat. Tak seorangpun peduli bahwa ada sesosok tubuh mungil sedang mengarah ke
tempat mereka bermain. Namun bukan mereka yang ia cari.
Bocah kecil
itu lewat di sebuah bukit yang penuh tengkorak dan tulang-belulang kering. Bulu
kuduknya mulai menegang sembari keringatnya mengucur deras. Ia berhenti
sejenak. Siang hari itu memang terik. Ia melihat bayangan palang melintang dan
membujur panjang di atas tanah. Tiga salib tanpa tubuh. Sebelah
menyebelah. Ia mengangkat sedikit kepalanya dan dari ujung matanya, ia tahu
kedua salib itu bekas tubuh para penjahat yang sejak kemarin sudah menjadi
mayat. Sementara yang satu lagi...Jagoannya. Ia memejamkan matanya, mengigit bibir bawahnya dan bergidik ngeri.
Nafasnya yang tersengal-sengal semakin terasa berat. Ragu-ragu ia hendak
melewati bukit itu, namun ia ingat di tangannya terletak nyawa ibu dan
adik-adiknya. Semakin erat ia memejamkan matanya, menarik nafas panjang, lalu
dengan kepala tertunduk ia segera lari melewati bukit berhias tengkorak itu.
Beberapa lelaki dengan pakaian dinasnya tersenyum melihat bocah yang lari
terbirit-birit itu. Ya, memang disinilah tempat kematian yang mengerikan bagi
orang yang melawan Tuhan dan pemerintah.
Bocah kecil
itu sudah hampir sampai di tempat yang ia tuju. Ia memperlambat langkahnya.
“Ibu, adik… sabarlah, aku pasti pulang membawa makanan dan kita tidak akan
kelaparan lagi” bisiknya dalam hati sambil menatap kantong yang ia genggam.
Dari balik perdu-perdu yang berantakan ia mengintip dan melihat sekelompok
pemuda bertubuh kekar sibuk dengan arena judi-nya. “Tuanku, keluarlah. Aku
takut kalau mereka menangkap aku, tapi aku juga sedih melihat ibu dan
adik-adikku kelaparan. Keluarlah Tuan… Aku ma-…” “Aaahhh…!!!” bisik doa dalam
hati Sang Bocah berakhir dengan sebuah jeritan lepas.
Rupanya ia
salah berpijak. Kaki mungilnya telah merusak kediaman semut-semut merah yang
marah karena rumahnya hancur. Teriakan panik diiringi tepak-tepok tentu saja
membuat para pemuda itu menghentikan keasyikannya. “He… siapa itu?!” seru salah
seorang sementara yang lainnya memasang kuda-kuda. Kelotak pedang beradu dengan
tombak dan pakaian besi mengarah ke
tubuh sang bocah yang mulai pucat-pasi. “A-ampun, Pak…” Dua kata bernada
memelas keluar dari bibir Sang Bocah. Kelotak pedang beradu tombak dan pakaian
besi terdengar lagi, kali ini dikembalikan pada tempatnya seolah tidak selera
melayani sarasan mungil di hadapannya. “Mau apa kamu?” tanya yang berkumis
lebat. “Ak-…aku…aku…” gelagapan Sang Bocah berusaha menjawab. “Whuahahaha…!!!”
Tiba-tiba meledak tawa pemuda yang bermuka merah. “Sini, Nak… Bilang sama kami
apa maumu!” katanya berlagak baik.
Pasrah,
takut bercampur ragu, Sang Bocah mendekat. Kepalanya menunduk bak seekor domba
di tengah segerombol serigala. “Apa itu?!” tanya yang seorang sembari
menghunuskan tombak untuk menunjuk kantong kecil di tangan Sang Bocah. “Ini…
lima potong roti dan dua ekor ikan kecil, Pak!” sahut anak itu tanpa
menengadah. “Coba lihat sini!” seru si jangkung seraya meraih kantong kecil
itu. Sambil memeriksa kejujuran sang bocah, ia bertanya lagi: “Mau diapakan
ini?” “Saya mau minta Tuan Yesus untuk menyulapnya menjadi banyak supaya ibu
dan adik-adikku tidak kelaparan lagi” “Wuahahaha…” Jawaban Sang bocah disahut
dengan tawa riuh oleh sekawanan pemuda yang disebut prajurit itu. Sang Bocah
menghela nafas panjang. Ia tahu ia sedang dipermalukan.
“He, bocah
gemblung! Apakah kamu tidak tahu, bahwa Yesus-mu itu sudah menjadi mayat?!”
tanya seorang prajurit. “Iya Pak, saya tahu. Maka itu saya datang kesini” sahut
Sang Bocah. “Lha sudah tahu kok malah datang kesini?? Dasar guoblok… goblok!!!”
kata terakhir kembali diiringi dengan tawa bernada sinis. Sang Bocah mati kutu
di hadapan lawannya. “Terus, memang kamu pikir orang yang sudah mati bisa hidup
lagi, keluar dari kubur yang kami jaga ini, lalu menghampiri kamu dan menyulap
roti-roti dan ikan-ikanmu itu?! Whahahaha…” Sang Bocah tertunduk semakin dalam
tidak tahu lagi harus menjawab apa. “Coba saja, kamu dekati pintu kubur itu
lalu kamu panggil Si Tukang Sulapmu itu supaya keluar!” tantang yang berbadan
besar.
Sang Bocah
bingung. Memorinya memutar kembali kenangan ketika ia melihat Tuan-nya Yesus
itu mengatasi masalah kelaparan yang dihadapi ibu dan tetangga-tetangganya,
juga orang-orang dari desa lain yang waktu itu ada bersama mereka. Ia ingat
bagaimana salah seorang murid Tuan Yesus mendatangi ibunya dan dengan sopan
meminta lima potong roti dan dua ekor ikan yang dibawanya. Ibunya membujuknya
untuk memberikannya meskipun tahu bahwa itu adalah bekal mereka. “Jangan kuatir
Nak, Dia orang hebat, pasti Dia akan berbuat sesuatu”. Benarlah apa yang
terjadi. Sebentar kemudian orang-orang yang mengikuti Yesus sudah duduk dan
mengunyah roti dan ikan yang begitu banyak. Entah dari mana semua itu, tapi Dia
hebat. Memorinya juga ingat bagaimana ketika sang bocah dan teman-teman
sebayanya dibawa oleh orang tua mereka supaya Tuan Yesus memegang mereka,
menjadikan mereka pandai, sehat dan sukses dalam hidup. Murid-murid-Nya
melarang, namun Tuan Yesus dengan suara-Nya yang mantap justru mengucapkan
kalimat yang ia ingat betul: “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku”. Ia
ingat ketika Tuan Yesus-nya membelai lembut kepalanya sambil berpesan: “Jaga ibu
dan adik-adikmu ya, jangan menyusahkan mereka…”
“Ayo cepat!
Panggil Dia!!!” Kenangannya terhenti oleh seruan prajurit yang mulai tidak
sabar. Sang Bocah melangkah manut mendekati pintu makam batu yang besar itu.
“Tuan… Tuanku Yesus... keluarlah…!” teriaknya. Cekikikan tertahan mulai
terdengar di belakangnya. “Ya.. Ya… tukang sulapmu itu memang hebat, tapi ia
sudah mati!” kata seorang prajurit. “Tuaaan… Tuaann… aku bawa roti dan ikan...
Tolonglah ibu dan adik-adikku supaya mereka tidak kelaparan lagi… Tuaaann…!!!”
teriakkannya diakhiri dengan tangisan putus asa. Bocah kecil itu malu dan
merasa kalah. Tangisan kecil justru disambar dengan tawa cemoohan. “Sudahlah
Nak. Dia seorang pembohong yang jahat. Dia memakai banyak sihir gelap.
Pulanglah dan tak usah menangis.” Kata seorang prajurit pura-pura menghibur.
“Begini saja, aku dengar kalau tiga hari lagi Ia akan bangkit. Itu berarti
besok. Nah, bagaimana kalau kita taruhan. Kalau besok Ia sudah tidak ada di
kubur ini, aku akan datang ke rumahmu dan membawakan banyak makanan seperti
yang kamu inginkan. Tetapi kalau besok Dia masih disini, kamu harus bilang pada
semua orang bahwa Yesus itu pembohong besar!”
Terdiam
sejenak, sang bocah lantas menjawab: “Baik Pak! Aku yakin Tuan Yesus besok akan
hidup lagi! Mungkin Tuan sedang lelah dan ingin istirahat. Besok aku akan
kembali kesini lagi…dan…”
“Pergi
sana! Dasar bocah ingusan!” kegeraman prajurit membuat bocah itu melesat
seperti ketika ia datang. Dalam hati, ia yakin Tuan Yesus-nya adalah jagoan
yang ia idolakan, dan Jagoannya pasti tidak akan mengecewakannya.
~Kamar
St.Pio, Malam Sabtu Sunyi 2010~
No comments:
Post a Comment