Thursday, April 4, 2013

BOCAH KECIL DI DEPAN MAKAM YESUS

Nafasnya memburu. Kaki mungilnya bergegas bak seekor kuda dipecut guna menarik kencananya. Dua mata kecilnya tak lepas menyorot ke tempat yang ia tuju. Tangannya menggenggam sekantong makanan. Ia melesat tanpa menghiraukan orang-orang yang heran memandang dirinya. Hendak kemana ia? pikir banyak orang yang berlalu tanpa jawaban. Bocah kecil itu pun tidak berminat untuk berhenti dan menanggapi. Ia berlalu begitu saja.

“Mati kau!” seru yang bongsor berkulit gelap. “Ah,.. sialan…!!!” timpal si jangkung sambil menepuk dahinya. Beberapa yang lain tertawa terbahak-bahak melihat kerikil-kerikil kecil yang kocar-kacir pada tanah bergurat garis-garis. “Ayo… lagi!... Ya… main lagi… jangan jadi pengecut… hahaha….!!!” Hingar-bingar sekelompok pemuda itu semakin seru. Beberapa di antara mereka membuka topi besinya dan menyeka kepalanya yang berkeringat. Tak seorangpun peduli bahwa ada sesosok tubuh mungil sedang mengarah ke tempat mereka bermain. Namun bukan mereka yang ia cari.

Bocah kecil itu lewat di sebuah bukit yang penuh tengkorak dan tulang-belulang kering. Bulu kuduknya mulai menegang sembari keringatnya mengucur deras. Ia berhenti sejenak. Siang hari itu memang terik. Ia melihat bayangan palang melintang dan membujur panjang di atas tanah. Tiga salib tanpa tubuh. Sebelah menyebelah. Ia mengangkat sedikit kepalanya dan dari ujung matanya, ia tahu kedua salib itu bekas tubuh para penjahat yang sejak kemarin sudah menjadi mayat. Sementara yang satu lagi...Jagoannya. Ia memejamkan matanya, mengigit bibir bawahnya dan bergidik ngeri. Nafasnya yang tersengal-sengal semakin terasa berat. Ragu-ragu ia hendak melewati bukit itu, namun ia ingat di tangannya terletak nyawa ibu dan adik-adiknya. Semakin erat ia memejamkan matanya, menarik nafas panjang, lalu dengan kepala tertunduk ia segera lari melewati bukit berhias tengkorak itu. Beberapa lelaki dengan pakaian dinasnya tersenyum melihat bocah yang lari terbirit-birit itu. Ya, memang disinilah tempat kematian yang mengerikan bagi orang yang melawan Tuhan dan pemerintah. 

Bocah kecil itu sudah hampir sampai di tempat yang ia tuju. Ia memperlambat langkahnya. “Ibu, adik… sabarlah, aku pasti pulang membawa makanan dan kita tidak akan kelaparan lagi” bisiknya dalam hati sambil menatap kantong yang ia genggam. Dari balik perdu-perdu yang berantakan ia mengintip dan melihat sekelompok pemuda bertubuh kekar sibuk dengan arena judi-nya. “Tuanku, keluarlah. Aku takut kalau mereka menangkap aku, tapi aku juga sedih melihat ibu dan adik-adikku kelaparan. Keluarlah Tuan… Aku ma-…” “Aaahhh…!!!” bisik doa dalam hati Sang Bocah berakhir dengan sebuah jeritan lepas. 

Rupanya ia salah berpijak. Kaki mungilnya telah merusak kediaman semut-semut merah yang marah karena rumahnya hancur. Teriakan panik diiringi tepak-tepok tentu saja membuat para pemuda itu menghentikan keasyikannya. “He… siapa itu?!” seru salah seorang sementara yang lainnya memasang kuda-kuda. Kelotak pedang beradu dengan tombak dan  pakaian besi mengarah ke tubuh sang bocah yang mulai pucat-pasi. “A-ampun, Pak…” Dua kata bernada memelas keluar dari bibir Sang Bocah. Kelotak pedang beradu tombak dan pakaian besi terdengar lagi, kali ini dikembalikan pada tempatnya seolah tidak selera melayani sarasan mungil di hadapannya. “Mau apa kamu?” tanya yang berkumis lebat. “Ak-…aku…aku…” gelagapan Sang Bocah berusaha menjawab. “Whuahahaha…!!!” Tiba-tiba meledak tawa pemuda yang bermuka merah. “Sini, Nak… Bilang sama kami apa maumu!” katanya berlagak baik.

Pasrah, takut bercampur ragu, Sang Bocah mendekat. Kepalanya menunduk bak seekor domba di tengah segerombol serigala. “Apa itu?!” tanya yang seorang sembari menghunuskan tombak untuk menunjuk kantong kecil di tangan Sang Bocah. “Ini… lima potong roti dan dua ekor ikan kecil, Pak!” sahut anak itu tanpa menengadah. “Coba lihat sini!” seru si jangkung seraya meraih kantong kecil itu. Sambil memeriksa kejujuran sang bocah, ia bertanya lagi: “Mau diapakan ini?” “Saya mau minta Tuan Yesus untuk menyulapnya menjadi banyak supaya ibu dan adik-adikku tidak kelaparan lagi” “Wuahahaha…” Jawaban Sang bocah disahut dengan tawa riuh oleh sekawanan pemuda yang disebut prajurit itu. Sang Bocah menghela nafas panjang. Ia tahu ia sedang dipermalukan. 

“He, bocah gemblung! Apakah kamu tidak tahu, bahwa Yesus-mu itu sudah menjadi mayat?!” tanya seorang prajurit. “Iya Pak, saya tahu. Maka itu saya datang kesini” sahut Sang Bocah. “Lha sudah tahu kok malah datang kesini?? Dasar guoblok… goblok!!!” kata terakhir kembali diiringi dengan tawa bernada sinis. Sang Bocah mati kutu di hadapan lawannya. “Terus, memang kamu pikir orang yang sudah mati bisa hidup lagi, keluar dari kubur yang kami jaga ini, lalu menghampiri kamu dan menyulap roti-roti dan ikan-ikanmu itu?! Whahahaha…” Sang Bocah tertunduk semakin dalam tidak tahu lagi harus menjawab apa. “Coba saja, kamu dekati pintu kubur itu lalu kamu panggil Si Tukang Sulapmu itu supaya keluar!” tantang yang berbadan besar. 

Sang Bocah bingung. Memorinya memutar kembali kenangan ketika ia melihat Tuan-nya Yesus itu mengatasi masalah kelaparan yang dihadapi ibu dan tetangga-tetangganya, juga orang-orang dari desa lain yang waktu itu ada bersama mereka. Ia ingat bagaimana salah seorang murid Tuan Yesus mendatangi ibunya dan dengan sopan meminta lima potong roti dan dua ekor ikan yang dibawanya. Ibunya membujuknya untuk memberikannya meskipun tahu bahwa itu adalah bekal mereka. “Jangan kuatir Nak, Dia orang hebat, pasti Dia akan berbuat sesuatu”. Benarlah apa yang terjadi. Sebentar kemudian orang-orang yang mengikuti Yesus sudah duduk dan mengunyah roti dan ikan yang begitu banyak. Entah dari mana semua itu, tapi Dia hebat. Memorinya juga ingat bagaimana ketika sang bocah dan teman-teman sebayanya dibawa oleh orang tua mereka supaya Tuan Yesus memegang mereka, menjadikan mereka pandai, sehat dan sukses dalam hidup. Murid-murid-Nya melarang, namun Tuan Yesus dengan suara-Nya yang mantap justru mengucapkan kalimat yang ia ingat betul: “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku”. Ia ingat ketika Tuan Yesus-nya membelai lembut kepalanya sambil berpesan: “Jaga ibu dan adik-adikmu ya, jangan menyusahkan mereka…”

“Ayo cepat! Panggil Dia!!!” Kenangannya terhenti oleh seruan prajurit yang mulai tidak sabar. Sang Bocah melangkah manut mendekati pintu makam batu yang besar itu. “Tuan… Tuanku Yesus... keluarlah…!” teriaknya. Cekikikan tertahan mulai terdengar di belakangnya. “Ya.. Ya… tukang sulapmu itu memang hebat, tapi ia sudah mati!” kata seorang prajurit. “Tuaaan… Tuaann… aku bawa roti dan ikan... Tolonglah ibu dan adik-adikku supaya mereka tidak kelaparan lagi… Tuaaann…!!!” teriakkannya diakhiri dengan tangisan putus asa. Bocah kecil itu malu dan merasa kalah. Tangisan kecil justru disambar dengan tawa cemoohan. “Sudahlah Nak. Dia seorang pembohong yang jahat. Dia memakai banyak sihir gelap. Pulanglah dan tak usah menangis.” Kata seorang prajurit pura-pura menghibur. “Begini saja, aku dengar kalau tiga hari lagi Ia akan bangkit. Itu berarti besok. Nah, bagaimana kalau kita taruhan. Kalau besok Ia sudah tidak ada di kubur ini, aku akan datang ke rumahmu dan membawakan banyak makanan seperti yang kamu inginkan. Tetapi kalau besok Dia masih disini, kamu harus bilang pada semua orang bahwa Yesus itu pembohong besar!” 

Terdiam sejenak, sang bocah lantas menjawab: “Baik Pak! Aku yakin Tuan Yesus besok akan hidup lagi! Mungkin Tuan sedang lelah dan ingin istirahat. Besok aku akan kembali kesini lagi…dan…”

“Pergi sana! Dasar bocah ingusan!” kegeraman prajurit membuat bocah itu melesat seperti ketika ia datang. Dalam hati, ia yakin Tuan Yesus-nya adalah jagoan yang ia idolakan, dan Jagoannya pasti tidak akan mengecewakannya.


~Kamar St.Pio, Malam Sabtu Sunyi 2010~

No comments:

Post a Comment