Thursday, April 4, 2013

BOCAH KECIL DI KAMAR PENGAKUAN

Dimuat di Majalah HIDUP edisi 27 Februari 2007
======================================================================== 
Jemarinya yang bengkak-bengkok meraba kisi-kisi pintu kamar pengakuan. Ditelusurinya lubang-lubang kecil pada pintu itu. Dengan matanya yang tinggal setengah pasang, ia mengitip dan menatap jauh. Nafasnya mendesah perlahan-lahan. Takut, kalau-kalau ada yang menemukannya lantas menarik dia keluar dari “istana kecil”nya. Tak ada yang tahu mengapa dan sejak kapan dia di sana, bahkan mungkin tak ada yang peduli akan keberadaannya. Tapi mungkin itu bukan pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang ia tunggu adalah kapan ia akan diusir dari situ. Dibuang lagi ke jalanan, dibuang lagi ke dunia yang kejam, dibuang lagi dari hati manusia. Itulah makna hidup yang selama ini ia rangkum dalam kata: “Dibuang”

Matanya yang bulat memicing, berusaha mencari tahu keadaan di luar sana. Hanya ada seseorang dengan pakaian putih panjang, berlutut di hadapan sebuah kotak berlapis emas, lalu melangkah pergi dengan tergesa-gesa.

Setelah merasa bahwa keadaan sudah aman, ia keluar perlahan-lahan. Ngesot. Kedua kakinya bukan tidak berfungsi, tapi memang tinggal seperempat; dipotong dan dirampas oleh orang tuanya sendiri, demi meraup sedekah rasa iba di pinggir jalan raya. Dia menyeret dirinya sampai di depan kotak itu. Dia sudah tahu. Dia sudah punya strategi sendiri. Dia merayap naik ke sebuah kursi berbantal merah di dekat situ. Dengan susah payah dia meraih pintunya, membukanya, dan mengeluarkan isinya. Dia tahu. Koin-koin putih ringan itu bukan uang, tetapi sesuatu yang bisa dimakan dan memuaskan lapar perutnya. Setelah menelan beberapa, ia membereskan yang tercecer. Seolah tahu “Itu” adalah sesuatu yang suci, ia merapikannya dengan hati-hati dan mengembalikannya ke tempat semula. Perlahan-lahan ditutupnya pintu kotak emas itu, dan diseretnya kembali tubuh mungilnya, masuk ke bilik kerahiman di sudut gereja.

Begitulah selama beberapa hari ini, sang bocah melakukan ritual itu pada tengah malam. Walau tak tahu apa artinya kehidupan, namun ia mencoba untuk mempertahankannya, seolah itu adalah hadiah yang terindah baginya. Pada saat-saat tertentu, dimana ia melihat banyak orang berkerumun, ia akan keluar diam-diam, menuju gerbang gereja dan menadahkan belas kasih orang yang lewat dihadapannya. Ada yang memberinya segelas plastik berisi air, ada yang memberinya sepotong roti. Semua itu dibalasnya dengan senyuman yang kata orang, 'mengerikan'. Banyak yang memberinya kertas warna-warni yang bergambar dan berangka dan logam-logam pipih putih abu-abu maupun kuning. Dia meringis, dia tak suka, karena benda-benda itu tak bisa dimakan. Pernah ada seseorang memberikan sebuah apel merah yang besar dan mengkilat. Bocah itu tertawa dan menggumam tidak jelas. Si pemberi apel malahan menyesal karena ia baru tahu bahwa gigi bocah itu sudah hancur semua. Bila orang yang berkerumun telah membubarkan diri, ia pun pergi. Namun tak ada yang tahu kemana perginya sang bocah dan dimana keberadaan istananya. Kalaupun tahu, mungkin juga tidak peduli.

Dia senang, karena selama ini, tak ada orang yang pernah masuk dalam istananya. Dia tidak tahu, bahwa istananya itu merupakan pintu gerbang dimana manusia dapat bertemu dengan Penciptanya, Sang Maha Kerahiman, dan dibebaskan dari dosa-dosanya. Dia merasa aman. Sudah lama ia tidak mendapat pengusiran. Memang tak ada yang peduli akan keberadaannya, maka tak ada yang mengusirnya. Dia merasa terjamin, karena kotak emasnya bagaikan harta karun yang tak pernah habis memberinya makanan. Bila hujan datang dan udara menjadi dingin, ia tinggal meraih selendang ungu yang tergolek pada sebuah bangku di ruang itu, membebatnya ke tangan atau kakinya. Dan bila merasa tak berdaya, iapun cukup memejamkan matanya dan membiarkan waktu membangunkannya.

Namun tengah malam ini, ia menjalankan ritualnya dengan was-was. Ia tahu tak ada orang di dalam gereja, namun ia merasa ada mata yang mengawasinya.

Memang benar. Seorang Imam mengawasinya dari kisi-kisi yang lain. Dari dalam sudut Sakristi ia berjongkok dan menerawang lewat sebuah lubang di pintu. Gerakannya seperti mata-mata. Gelagatnya persis seperti bocah itu manakala ia mengawali ritual tengah malamnya. Sang Imam terperangah tak percaya, memandang bocah yang selama ini ia lihat di gerbang gereja setiap kali Misa selesai. Memang ia tak pernah menggubris bocah itu. Sangkanya ada yang sengaja menaruh bocah itu di gerbang gereja dan menjemputnya kembali bila sedekah telah terkumpul. Ternyata bukan. Bocah itu telah menjadi bagian dalam komunitas gerejanya.

Marah, puas, sedih bercampur haru berbaur dalam hati sang Imam. Marah karena Tubuh Kristusnya diobrak-abrik, puas karena kini ia tahu siapa si terdakwa yang selalu mengubah letak sibori-sibori di dalam Tabernakel serta mengurangi isinya. Sedih melihat keadaan tubuh bocah yang layu itu, haru akan kegigihan sang bocah untuk mempertahankan hidupnya. Bimbang Sang Imam. Apakah ia akan keluar dari Sakristi demi menghindari terjadinya dosa Sakriligi, atau tetap ditempatnya supaya bocah itu bisa menjaga kelangsungan hidupnya. Dia memilih jalan tengah. Dia keluar setelah bocah itu menyeret tubuhnya kembali dan beranjak pulang ke istananya di kamar pengakuan.

Sang bocah kaget dan hendak menjerit. “Sttt…jangan takut!” kata Sang Imam berusaha menenangkan detak jantung sang bocah. Didekapnya bocah itu dan dibawanya masuk ke pastoran. Sang bocah yang tak tahu harus berbuat apa hanya bisa pasrah dalam dekapan sang Imam. Tak lama kemudian, ia sudah berada di tempat lain. Ruangan yang meremang namun hangat, selimut yang halus, tempat tidur yang empuk, aroma makanan dan minuman yang mengundang selera, dan seorang teman yang selalu tersenyum sembari menatap kepadanya. Seandainya ia pernah dengar kata: “Surga”, mungkin itu yang akan dikatakannya. Sejenak ia merasa bahagia, lalu terlelap kembali dalam dekapan sang Imam.

Bocah itu terbangun oleh hingar-bingar orang yang berteriak-teriak. Matanya mengerjap menahan silau matahari. Beberapa detik kemudian ia sadar. Ia kembali ke dunianya yang dulu. Tak ada lagi istana kecilnya, tak ada lagi kotak harta karunnya, tak ada lagi surganya. Dia kembali ke tempat yang baru, namun sama dengan tempatnya semula. Sekali lagi ia telah dipindahkan dan sekali lagi ia membenarkan idealismenya tentang hidup: “dibuang”. Bocah itu menarik dirinya, mengesot menuju ke jalan besar. Orang yang lalu-lalang melihatnya namun tak memperhatikannya. Tak ada yang tahu ia hendak kemana dan mengapa. Barangkali besok ia muncul di bilik kamar pengakuan gerejamu.



(Kamis putih, 24-03-05)


**********


No comments:

Post a Comment