Thursday, April 4, 2013

NOVEN


Ya, namanya Noven. Gadis cilik itu sudah sejak pagi duduk di sofa dekat pintu rumah. Pandangannya tak kunjung lepas dari balik bordiran gorden. Seolah tak lelah dan tak jenuh ia termangu-mangu di situ. Rupanya hari Minggu ini ia lebih memilih berbuat begitu ketimbang nonton acara televisi kesayangannya.

“…dan penghargaan untuk siswa terbaik tahun 2011, diberikan kepada… Novena Triave Maria…!!!” sontak serbu tepukan tangan membahana di aula Sekolah Dasar itu. Memoriku memutar ulang kejadian sepuluh hari lalu, pesta perpisahan layaknya setiap akhir tahun ajaran bagi para tunas pemikir. Noven tahun ini menjadi bintangnya. Dia berhasil mengakhiri kehidupan pendidikan dasarnya dengan gemilang. Tahun-tahun yang lalu ia tak secemerlang teman-temannya tapi ia tak pernah mangkir dari urutan rangking sepuluh besar. Dia berjuang banyak untuk semua ini dan aku tahu betul akan hal itu.

Beberapa jam setelah pesta perpisahan itu, aku berjanji di tempat tidurnya, “Kamu boleh minta apa saja!” kataku seraya tersenyum sambil mengelus keningnya. ”Beneran?” tanyanya girang. Aku mengangguk. Aku berani menjanjikan ini karena aku yakin, ia tidak akan minta yang aneh-aneh. Noven tahu benar keadaan orang tuanya dan ia bukan tipe anak yang menyusahkan hati. Mata mungilnya yang sudah mengantuk melirik ke kanan atas sambil mengedip-kedip, tanda bahwa ia sedang berpikir sungguh untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. “Noven mau doa Novena bareng Ayah. Noven mau minta supaya Ibu pulang…” Wajahnya yang tadi masih berseri perlahan mengerut berganti sendu. Jantungku serasa ditonjok palu besar namun aku segera menutupinya dengan senyuman, ciuman di keningnya, ucapan selamat tidur dan tentu saja janji bahwa aku akan mengabulkan permintaannya mulai besok.

Kurebahkan badanku di ranjang. Kedua tanganku menopang kepalaku. Apa yang diminta Noven tidak berat untuk ukuran dompetku, tapi berat untuk ukuran jiwaku. “Apa salahnya kalau dia minta berdoa Novena?” sebuah suara berbicara dalam hatiku. Ya, Noven lahir dari doa novena kami. Sebelas tahun yang lalu, aku dan isteriku begitu gelisah karena kami tak kunjung dikaruniai momongan. Semua yang bersangkutan dengan masalah biologis sudah diperiksa dan kata dokter, “Hanya belum beruntung saja!”. Akhirnya kami memutuskan untuk berdoa Novena seperti kebanyakan orang Katolik pada umumnya bila keadaan sudah seolah tak berjalan keluar. Sembilan kali sembilan hari jam sembilan malam, kalimat “Bunda Maria, Perawan yang kuasa,…” senantiasa menjadi kalimat pembuka dalam doa kami. Hari ke delapan puluh dua setelah novena, isteriku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya dan singkat cerita kami bersorak girang di ruang praktek dokter karena berita yang dinantikan tiba. Seolah semua diatur sedemikan rupa, ia lahir tanggal sembilan, bulan sembilan dan tahun sembilan sembilan. Kami memberinya nama Novena Triave Maria, bahasa lain untuk mengatakan Novena Tiga Salam Maria.

“Ia datang dari novena. Apa salahnya kalau ia sekarang minta berdoa novena? Mungkin kali ini akan terkabul. Kan Tuhan mendengarkan doa anak kecil!” hatiku kembali berbisik. Aku menggeliat memeluk bantal.

Bukan itu masalahnya! Masalahnya aku tidak siap kalau isteriku kembali ke rumah ini. Dulu ia yang meminta keluar karena lebih mencintai lelaki busuk itu. Aku mengijinkannya bukan karena aku mau mengalah bukan pula karena aku rela berbuat apa saja asalkan ia berbahagia, bukan juga karena aku begitu menyadari bahwa aku tak selalu bisa memenuhi harapannya. Aku tidak sebaik itu. Aku membiarkan dia pergi, karena aku merasa dia perempuan murahan yang lebih pantas hidup bersama lelaki murahan. Sementara aku adalah lelaki mahal. Aku mahal karena aku setia. Kubuktikan ini dengan menjaga Noven sebaik mungkin dan menjaga jarak dalam berelasi dengan perempuan lain. Aku tidak mau membuat Noven kecewa karena mempunyai seorang ayah yang tidak setia pada janji pernikahan Sakramen Gereja. Ibunya pasti sudah mengecewakannya, tapi aku tidak akan! Aku mau membuktikan bahwa aku tidak seperti lelaki yang lain. Ya, harus kuakui bahwa aku sombong. Belum siap aku menjadi rendah hati, belum siap aku menjadi Yesus yang mengampuni perempuan pezinah, belum siap aku menjadi Bapa yang baik bagi si bungsu yang hilang.



“Bunda Maria, Perawan yang Kuasa…” kusertai suara Noven yang lirih mengucapkan doa itu. Kami berdua bersimpuh di hadapan meja kecil yang di atasnya berdiri sebuah Patung mungil, Bunda Maria dengan mantol birunya. Dua lilin mengapit patung itu. Sebuah salib menjadi latarnya. “Bunda, Noven mohon supaya Ibu bisa pulang. Noven kangen sama Ibu. Noven sayang sama Ibu” Kalimat itu mengisi bagian titik-titik dalam teks doa Novena. Begitulah, sembilan malam, pukul sembilan, dan hari ini adalah hari kesepuluh. Noven masih saja termangu-mangu di kursi dekat jendela.



Seharian aku gelisah. Manusia tak mampu mengatur segala hal yang terjadi, tapi manusia diberi kemampuan mengatur bagaimana ia bereaksi. Apa reaksi yang akan kuberikan kalau isteriku pulang? Di satu sisi aku masih marah, di sisi lain aku tahu Noven memerlukan dia, atau… inikah bahasaku untuk mengatakan bahwa aku masih memerlukannya… masih mencintainya…? Sejak aku kehilangan dia, aku seperti kehilangan separuh diriku… Acara televisi dewasa yang biasanya kami tonton bersama kini sudah tak lagi menggugah selera semenjak aku sendiri. Tak ada lagi acara makan malam di rumah karena aku toh bukan koki yang baik. Telinga yang dulu mendengarkanku bercerita tentang hariku kini tiada dan aku juga tak lagi memiliki telinga yang berselera untuk mendengarkan cerita orang tentang kehidupannya, kecuali bagi Noven. Inikah yang selama ini diajarkan padaku, bahwa cinta itu melengkapi dan mengutuhkan diri yang bercinta?”



“Ayah?” Noven menengok padaku hendak bertanya. Aku mengangkat mataku memberi signal bahwa aku siap menjawab pertanyaannya. “Kalo Ibu nggak pulang, gimana? Kayaknya Ibu nggak pulang deh… Novena kita gagal…” ucapnya dengan suara bergetar seraya menunduk kecewa. Ah, Noven, dalam hatiku gelisah mendengarmu. Kuhampiri dia, duduk di sofa. Ia pun membalikkan badannya dan merebah lelah di sofa. “Novena kita gagal, Yah…” Otakku berpikir cepat ingin menanggapi ungkapannya dengan tepat.

“Noven, tahu nggak, dulu waktu Ayah dan Ibu menginginkan kehadiranmu, kami juga berdoa Novena. Berdoanya tidak hanya sekali, tapi sembilan kali. Tadinya Ayah kira juga gagal, tapi Ibumu yang tekun mengajak Ayah untuk terus melanjutkan Novena itu. Akhirnya doa kami terkabul. Jadinya ada kamu deh!” sahutku dengan senyum yang sengaja kubuat agar menenangkan hatinya. Noven terdiam. Ia memandang kembali melalui lubang-lubang kecil gorden bordiran itu.

“Ayah, besok kita Novena lagi ya? Siapa tahu kali ini berhasil.” Perkataan Noven begitu polos. Aku mengangguk. Ketekunan Noven pasti turunan dari ketekunan Ibunya. Mungkin ini juga menjadi kesempatan bagiku untuk memohon hati yang besar, hati yang bisa mengampuni isteriku, hati yang rela melepaskan kesombonganku agar kebahagiaan Noven dan keutuhan hidupku dapat terpenuhi kembali. Barangkali Tuhan memberi waktu bagiku untuk merendahkan hati.

“Noven,… Noven nggak marah sama Ibu? Ibu kan udah ninggalin Noven?” tanyaku, berusaha mencari alasan baik. Siapa tahu aku punya peluang untuk tidak melanjutkan novena dengan intensi yang satu itu. “Ya, Noven kesal sama Ibu. Tapi Noven juga sayang Ibu. Dulu Ibu banyak mbantuin Noven… Noven pengen Ibu pulang…” nada suaranya semakin bergetar. Akhirnya ia menangis di pelukanku.

Rasanya aku malu. Hati Noven masih begitu murni sehingga ia begitu mudah mengampuni Ibunya. Sementara aku yang merasa diri sudah matang luar-dalam, justru masih harus belajar mengampuni dari seorang anak. Barangkali Tuhan memang menyuruhku berdoa Novena, bukan hanya sekedar untuk mengiringi Noven dengan intensi kepulangan Ibunya, melainkan supaya aku juga punya waktu untuk berbenah diri dan berbersih hati.

“Bunda Maria, Perawan yang Kuasa… mohonkanlah kerendahan hati bagiku, agar aku dapat memiliki hati seperti Noven. Mohonkanlah hati yang penuh pengampunan, agar aku dapat menerima isteriku bila ia memutuskan untuk kembali. Bila kehendakku bukan kehendak-Nya, semoga engkau menemaniku dalam mengarungi hidup ini bersama Noven.” Doaku menggema di relung batinku.



RRGN, 8.VII.11

RENGEKAN SELAMA MISA

dimuat di Majalah Hidup, Feb th.2008
=========================================================================

Untuk sekian kalinya, wanita yang duduk dua deret di depanku menoleh padaku. Wajahnya memberi pesan yang sama: “Bawa anak itu keluar!”. Aku menunduk menghindari tatapannya. Kudekap anakku sambil mencium pipinya. Anakku diam sejenak, kemudian mulai rewel dan merengek-rengek lagi. Naluriku sebagai ibu tahu betul bahwa anakku tidak betah. Ia tidak nyaman berada di antara kerumunan orang yang tidak ia kenal. Ia juga pasti ingin berjalan kesana-kemari sebagaimana layaknya seorang anak yang baru lancar berjalan. Sekali lagi anakku merengek keras dan panjang. Kali ini bapak yang berdiri di sebelahku menarik nafas panjang dan menggaruk-garuk telingannya. Dia mengatakan sesuatu kepadaku, namun aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya.

Umat berlutut. Aku ikut berlutut sambil terus mendekap anakku. Doa Syukur Agung mulai dipanjatkan. “Sabar ya, Nak…” bisikku perlahan-lahan. Kubantu anakku berdiri. Kukatupkan kedua tangan mungilnya dalam tanganku. “Kita berdoa ya, Nak…” bisikku sekali lagi pada telinganya. Tentu saja, ia tidak bertahan lama dalam posisi sembahyang itu dan mulai merengek-rengek lagi. Seorang wanita usia senja menoleh. Ia melihatku kemudian melirik ke arah pintu. Pesannya sama: “Keluar! Rengekan anakmu itu mengganggu Misa!”. Aku menarik nafas panjang dan menunduk. Aku tahu rengekan anakku pasti sangat mengganggu ketentraman umat, namun aku tak tahu bagaimana harus menenangkannya. Di tasku ada botol susu dan biskuit yang ia sukai. Itu bisa saja membuatnya diam, namun aku tidak mau memberikannya. Aku ingin ia tumbuh menjadi anak beriman yang dapat menghargai perayaan Ekaristi. Aku melirik ke arah pintu di sampingku. Di satu sisi aku merasa harus membawa anakku keluar agar tidak mengganggu ketentraman Misa, namun di sisi lain ada rengekan rindu dalam hatiku. Aku rindu memperdengarkan satu Misa utuh kepada anakku. Aku menyesal bahwa aku pernah membiarkan Misa lewat begitu saja dalam hidupku. Sekarang aku tak bisa lagi mendengarnya.

Hosti besar diangkat oleh Imam, diletakkan, diikuti dengan sembah sujud. “Itu Yesus, Nak…” bisikku pelan. Anakku tak peduli dan tetap merengek sambil menarik-narik bajuku. Piala diangkat, diletakkan, sujud. “Itu Yesus…” bisikku untuk kedua kalinya. Anakku melihatnya tapi ia tidak tertarik. Ia malah melompat-lompat di bantalan tempat berlutut. Kembali kudekap anakku. Aku bisa merasakan ia menjerit menolak. ‘Ya Tuhanku dan Allahku, bersabarlah dengan kami’ doaku dalam hati. Ini bukan pertama kalinya ia kuajak dalam Misa. Sekian Misa kami lalui bersama, namun tidak pernah tuntas. Aku selalu keluar sebelum Misa selesai karena anakku terlalu rewel dan orang-orang di sekitarku terganggu oleh rengekannya.

Seandainya suamiku masih disini, mungkin ia tahu apa yang harus diperbuat. Pikiranku melayang pada lelaki yang telah meninggalkanku tiga tahun yang lalu. Gambaran wajahnya kembali menghantui pikiranku. Dia meninggalkan kami setelah insiden ledakan itu, setelah ia tahu dampak dari kejadian itu, setelah ia tahu bahwa aku sedang mengandung anaknya. Ia tahu…tapi entahlah. Mungkin ia takut dimintai pertanggungjawaban atas ikrar: aku berjanji setia dalam untung dan malang. Air mata mulai menggenangi mataku. ‘Dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat’ seruku dalam hati bersama dengan umat.

Anakku mulai memukuli aku dan berteriak-teriak. Kembali ia kugendong dan kudekap. Seorang pemuda yang duduk di depanku menggeleng-geleng. Aku tidak mendengarnya, namun dari gerak bahunya yang naik lalu turun mendadak, aku tahu bahwa ia pasti mendengus kesal. “Sabar ya, Nak. Ini bukan salahmu. Kamu memang belum tahu bagaimana bersikap dalam Misa’ kataku dalam hati sambil menatap mata anakku. Ia tidak membalas tatapanku, malahan ia mulai meronta-ronta minta dilepaskan dari dekapanku.

Umat mulai bersalaman. Aku tersenyum sambil mengulurkan tanganku pada umat yang berdiri sekitarku. Mereka membalas. Namun aku bisa merasakan keterpaksaan dalam senyum dan salam itu. Mereka terganggu dengan rengekan anakku. Tapi mereka terpaksa melakukannya karena itu adalah bagian dari ritual Misa. Hatiku terasa sakit dan tiba-tiba saja telingaku juga ikut terasa sakit.

Sejak insiden ledakan itu, telingaku sering sakit. Kedua gendang telingaku pecah karena suara yang begitu keras. Insiden itu terjadi saat aku sedang mengandung anakku ini. Aku tidak tahu apa kaitannya, namun yang aku tahu, sebelum aku melahirkan, dokter mengatakan bahwa anakku akan memiliki kecacatan mental. Ia tidak bisa berinteraksi dengan orang lain. Ada satu hal yang kusyukuri: anakku masih bisa mendengar.

“Anak Domba Allah…kasihanilah kami…Anak Domba Allah…berilah kami damai…” Kudoakan suamiku. Aku tak pernah membencinya. Aku sungguh mengerti bagaimana ia tidak siap menghadapi kenyataan bahwa istrinya harus tuli selamanya, bagaimana ia harus mendidik anaknya yang cacat mental, bagaimana ia harus menjelaskan pada orang lain bahwa insiden ledakan mobil kami hanya disebabkan oleh keisengannya bermain petasan bersama bocah-bocah di kompleks. Ia begitu merasa bersalah. Lantas malam itu, ia pergi diam-diam meninggalkan kami. Kenyataan memang pahit, namun aku bisa mengerti kepergiannya. ‘Ya Tuhan, saya tidak pantas…’ Kudoakan anakku. Betapa tak pantasnya anakku didatangi Tuhan. Ia sering rewel dan nakal. Namun ia melakukannya karena butuh. Ia butuh didengarkan dan diperhatikan, lebih dari yang dapat diberikan oleh ibu kandungnya ini. Seandainya aku masih bisa mendengar…‘Bersabdalah saja maka saya akan sembuh’

Meski berontak, kugedong paksa anakku dan kami melangkah maju menyambut Komuni. Aku tahu anakku berteriak dan semua mata memandang kami. Kubenamkan wajahnya di dadaku. Betapa irinya aku pada umat. Kalian bisa mendengar rengekan anakku, sementara aku tak pernah sekalipun tahu seperti apa suara anakku ini. Tubuh Kristus kusantap. Kuturunkan dia dari gendonganku. Kupandangi ia yang diberkati ImamNya, lalu kutuntun kembali ke bangku umat. Kudekap dia erat-erat tanpa mempedulikan erangannya, tanpa peduli umat di sekitarku.

Berkat meriah diberikan. Umat mulai beranjak satu persatu. Beberapa diantaranya sempat menoleh kepadaku. Aku tak peduli. Aku berdiri sampai koor selesai menyanyikan lagu penutup. Air mataku meleleh. Kerinduanku terpenuhi hari ini. Aku ingin anakku mendengarkan satu perayaan Ekaristi utuh. Kucium pipi anakku. ‘Selamat Ulang Tahun, sayang… Hanya ini yang bisa kuberikan kepadamu. Semoga kelak kamu tidak menyia-nyiakan setiap Misa yang kamu dengarkan’



Jkt, 01.XI.08

SELAMAT DATANG DI PAROKI KHAYAL

Selamat datang di Paroki Khayal! Sebuah paroki yang sangat terkenal dengan kehidupan iman yang absurd. Keberadaannya selalu saja mengundang tanda tanya, kadang pula tanda seru, tanda petik, koma, titik dua, sama dengan, dsb. Pasalnya, yang hidup di paroki ini bukan hanya “Gerejanya” (umatnya) tetapi juga “gerejanya” (bangunannya). Setiap hari, umat paroki Khayal yang datang beribadat selalu di sambut dengan hangat oleh setiap sudut gereja ini.

Buktinya ketika seorang ibu datang ngeloyor masuk sekedar untuk mengambil Warta Paroki, bejana air suci langsung menyapanya, “Selamat siang, Bu. Silahkan ambil air suci dulu, untuk mengingatkan Ibu pada rahmat Baptisan, dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin”. Dengan tersenyum, ibu itu menuruti perkataan bejana. Lain lagi ketika seorang bapak hendak pulang setelah berdoa di Gua Maria. “Pak, nggak mampir dulu? Masa bertamu hanya sampai di halaman saja? Masuklah, Pak, walaupun cuma untuk menyapa Sang Tuan Rumah.” kata altar kecil di depan Gua Maria. Dengan agak sungkan, Bapak itu masuk ke dalam gereja dan menyapa Tuhan. Beda pula dengan beberapa orang yang datang untuk berdoa memohon berkat dan bantuan Tuhan agar lulus dalam ujian hidup. “Kembalilah kemari untuk bersyukur bila kalian berhasil melewati ujian nanti. Jangan lupa, kita harus mengingat Tuhan bukan hanya dalam kesulitan tetapi juga dalam keberhasilan.” kata serangkai bunga di bawah altar. Tak jarang pula gambar-gambar perhentian Jalan Salib, patung Hati Kudus Yesus, patung Bunda Maria, Tabernakel, dan semua benda-benda suci lainnya berusaha mengingatkan kaum muda untuk tidak melupakan kekayaan doa dan devosi Gereja yang memberi banyak kekuatan bagi manusia. “Supaya kaum muda semakin kuat imannya. Mereka itu kan penerus Gereja.” begitulah pendapat patung Corpus Christi yang terpancang di belakang altar. Buku Puji Syukur dengan senang hati akan meminjamkan dirinya kepada mereka yang tidak mampu membeli buku ini, atau kepada mereka yang PSnya tertinggal di rumah, bahkan juga kepada mereka yang memang sengaja tidak membawa dengan alasan (pura-pura) lupa, berat, repot, dll. Kipas angin di tiap sudut gereja akan menyala dengan sendirinya bila melihat ada umat yang kepanasan selama Misa. Ruang Sakristi dengan segala perlengkapannya akan dengan suka hati mendandani penampilan para pelayan Tuhan. Dari yang jubahnya kependekan sehingga mirip celana perang zaman Napoleon; yang rambutnya awut-awutan seperti kena badai tornado; yang talinya kepanjangan mirip kambing pak Mamat yang lepas; semuanya itu akan beres sebelum Ekaristi dimulai. “Supaya Misa bisa berlangsung dengan khidmat tanpa ada yang tampak mencolok di mata” kata Sakristi ketika diminta berkomentar. Tentu saja, sebelum Misa, kamar pengakuan dosa akan berbisik memanggil mereka yang belum pantas menyambut Komuni karena dosa besar maupun karena timbunan dosa kecil yang menumpuk bertahun-tahun tanpa absolusi.

Demikianlah setiap kali, gereja selalu mengingatkan Gereja akan imannya dan berusaha untuk selalu meningkatkan mutu kehidupan iman yang sesuai dengan ajaran Kristiani. Maka tak heran bila umat di paroki Khayal ini terkenal akan religiusitas dan tingkat kesuciannya yang amat tinggi. Mulai dari yang masih balita sampai yang sudah sepuh, semua setia untuk menampakkan imannya kepada Tuhan. Umat di paroki Khayal merasa beruntung karena memiliki gereja hidup yang sedemikian baiknya. Pokoknya masalah ibadat di gereja, semuanya beres, nggak usah pusing dan yang penting umat bisa menjalankan kegiatan ibadahnya dengan tenang dan damai.

“Damai…?!?” kata altar dengan suara agak keras. “Apanya yang damai?!? Jangan sembarangan dong kalau nulis!!! Memang umat paroki Khayal ini senang dengan kami. Tetapi kami, gerejanya, TIDAK!!!…. Ayo gereja, sudah saatnya kita protes!!!” teriak altar menggelegar. Tiba-tiba semua benda yang ada di gereja itu bergerak dengan riuhnya. Suara grobyak, plethok, gedhubrak, jedhèèèr, krompyang, ghabrukh, dhuaarr, klontang dan seruan-seruan amuk mulai berbaur menjadi satu menghasilkan sebuah simphoni sumbang. Suasananya mirip massa di kerusuhan 13 Mei 1998. Tak ada satu benda pun yang tidak terlibat dalam aksi protes ini. Semuanya porak-poranda, membahana dan menjerit bagai kesetanan. Memekakkan dan mengerikan! Keadaan menjadi gawat. gereja Khayal hampir runtuh.

Melihat keributan yang terjadi di gerejaNya, Tuhan mengutus seorang malaikat untuk segera memeriksa apa yang terjadi dan membuat tindakan pengamanan yang perlu dilakukan. Dengan pesawat Mega Super Sonic milik Surga-Air, malaikat pun melesat dan mendarat di tengah-tengah pelataran gereja Khayal. Aksi protes masih terus berlangsung, keadaan makin bertambah gawat.

“Stooooppp!!!!” teriak Malaikat itu. Dalam sekejap kekacauan berhenti menjadi keheningan. “Weleh weleh…kalian ini kenapa kok bikin rusuh begini? Ributnya itu lho, sampai ke ruang Kapel di Surga. Pujian kami kepada Tuhan menjadi terhenti gara-gara ulah kalian. Hayo sekarang cerita, ada apa sebenarnya?” tanya Malaikat itu. “Gini lho,… kami PROTES!!!” kata Tabernakel yang sudah ngeleat-ngeleot nggak karuan. ”Iya, kami protes, kami tidak mau lagi menjadi gereja milik paroki Khayal!”. “Iya…tuuulll….setujuuuu….!!!” sorak-sorai kembali terdengar. Malaikat mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan massanya sambil berkata, “Lho kenapa? Bukankah kalian malah beruntung bisa membantu umat Allah untuk beribadat lebih giat? Bukankah kalian senang melihat umat khusyuk selama Misa? Bukankah kalian bersyukur punya umat yang suci, rajin, setia, tekun, baik, dan…”

“Haaaahhh….KLISE!!!” kalimat Malaikat dipotong oleh Gong yang selalu benjol walau tidak dipukul sekalipun. “Klise? Apanya yang klise?” tanya Malaikat heran. “Jelas saja imannya yang klise. Umat di paroki Khayal memang rajin beribadat bahkan sampai-sampai paroki ini tenar dengan sebutan Paroki Santo dan Santa. Tetapi imannya lembek kayak tempe, kosong kayak balon, melempem kayak kerupuk. Kelihatannya saja bagus, tapi dalamnya jelek.” kata Bantal. “Kami bosan jadi gereja Khayal. Setiap kali kami berusaha mati-matian supaya dapat membantu dan mendukung umat dalam ibadatnya. Setiap kali kami direnovasi, dipermak ini-itu, ditambah ini-itu semata-mata supaya umat bisa beribadat dengan lebih baik. Tapi hasilnya tetap saja nihil. Ibadat berkembang tanpa iman” tambah Lonceng. “Kami berusaha membantu mereka, tapi mereka tidak pernah berterima kasih pada kami. Selalu saja kami yang melayani kebutuhan mereka namun mereka tak pernah menjaga keberadaan kami. Ini khan namanya jadi hubungan satu arah bukannya hubungan timbal-balik!” kata Kantong Kolekte.

“Maksudnya bagaimana? Coba jelaskan lebih detail” kata Malaikat. “Lihat saja. Di dalam gereja jabat tangan Salam Damai, tapi begitu masuk mobil, klakson dan umpatan makian dari kebun binatang langsung berbunyi.” kata Pintu gereja. “Iya tuh. Belum lagi mereka yang datang dengan baju nggak karuan. Ada yang pakai celana pendek serasa di pantai, ada yang norak pakai perhiasan gemerlap dan dandanan yang menor, ada yang (mungkin saking menghayati kaul kemiskinan) bajunya agak kekurangan bahan, sampai-sampai, udhel dan bulu ketek pun bisa memamerkan diri” sambung sebuah Lampu Gantung. “Udah gitu kalau lagi Misa, banyak yang men sana in corpore sini, artinya badannya di sini tapi pikirannya di sana entah kemana. Ada yang mimpi pas Pastornya khotbah, iya kalo mimpinya nyambung sama khotbahnya, kalo nggak? Belum lagi mereka yang suka bikin homili sendiri, baik dengan bisik-bisik ke orang yang duduk di sebelahnya maupun dalam hati. Belum lagi kalau Hp berbunyi, belum lagi yang datang pas homili pulang habis komuni, belum lagi yang main gamewatch selama Misa, bahkan ada juga yang istirahat pas Misa alias jajan. Gimana nggak kesel coba???” kata Mimbar. “Jangan lupa, banyak pula yang sudah tidak menghormati Sakramen Maha Kudus. Antri Komuni seperti ngantri karcis bioskop, sambil ngelirik kanan-kiri mencari-cari siapa tahu ada lawan jenis yang sedap dipandang mata dan ‘hap’ setelah hosti masuk mulut lalu ‘krenyes krenyes krenyes, glek!’ seperti makan keripik singkong.” kata Piala. “Itu kalau Misa. Coba lihat sesudahnya. Lembaran Misa, Warta Paroki dan Puji Syukur dibiarkan tergeletak sembarangan. Tissue bekas berserakan di belakang bangku umat. Padahal aku dan teman-teman kan ada di setiap sudut!” kata Tong Sampah. “Lalu dimana letak keimanan dan kesucian mereka?” teriak gereja serentak.

“Kalian ini bagaimana sih? Kalian kan mampu berbicara, bisa menegur dan mengingatkan umat kalian itu? Kalian bahkan mampu membimbing mereka satu persatu supaya mereka sungguh dapat menjadi umat Allah yang sejati.” kata Malaikat. “Memang itu benar. Masalahnya, Gereja sudah tidak peka lagi pada gerejanya. Yang peka hanya sedikit, sisanya acuh tak acuh. Perwujudan iman mereka seperti layaknya pertunjukkan wayang golek. Kami dalangnya, kami yang menggerakan mobilitas kehidupan religius mereka. Mereka sudah tidak mau berjuang mengembangkan sendiri kehidupan imannya. Mereka menjadi manja dan menggantungkan mutu iman pada kami. Padahal kami ini kan sebenarnya hanya faktor pendukung saja. Mereka sudah tidak mau lagi mendengarkan kami. Kami lelah jadi gereja paroki Khayal!” kata Organ.

“Ya sudah, tenang dulu. Sekarang apa yang kalian inginkan sebagai tuntutan aksi protes kalian ini?” tanya Malaikat. “Jadikan kami gereja paroki REAL!!!” seru gereja Khayal. “Baik, permohonan kalian akan kusampaikan kepada Tuhan. Tapi ingat, di paroki Real, kalian hanya akan menjadi bangunan fisik dan benda mati alias gedung gereja biasa.” Jawab Malaikat.

Pendek kata, Tuhan mengabulkan permohonan mereka. gereja Khayal diubah menjadi gereja Real. Bagaimana kelanjutan hidup gereja Khayal setelah berubah menjadi gereja Real? Merasa damai dan bahagiakah mereka? Mau tahu kelanjutan kehidupan gereja Real? Silahkan datang ke gereja di kota Jakarta ini, dan simaklah sendiri. Siapa tahu Anda masih bisa mendengar mereka berbicara.



~bathtub, somewhere in 2003~

KETIKA BAYI YESUS HILANG

Geger! Semua mata yang berkerumun di depan gua Natal terbelalak menatap pada satu titik. Spontan semua kaget dan tersentak. Semua terdiam. Beberapa detik kemudian mulailah terdengar desah resah gelisah diiringi dengan guman-gumam bernada tinggi bagai sekelompok lebah. 

“Gimana ini, kok bisa gini?”
“Ini siapa yang punya ulah?”
“Ini pasti ada dalangnya. Ini pasti ada oknumnya!”
“Cepat, lapor polisi!”
“Jangan! Baiknya bilang dulu sama Romo!”
Kerumunan yang makin bertambah banyak itu pun mulai bergeliat menunjukkan pola pikir yang ada di dalam masing-masing kepala.
“Ehem…ehem….ini ada apa?” Suara serak berat berdehem yang diiringi dengan logat Londo itu langsung menjadi pusat perhatian kedua. Sang Ketua Panitia Natal mulai berkeringat dingin seolah menjadi terdakwa yang bertanggung jawab akan kegegeran ini. Bingung tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. “Eh, anu Romo…eh….eng…patungnya hilang…Ehm..Patung Bayi Yesusnya….” Kata salah seorang berusaha menyelamatkan kebingungannya. “Hilang bagaimana maksudmu?” tanya Pastor itu. “Eh…ya…ini Romo bisa lihat sendiri.”

Kerumunan itu membuka jalan bagi Sang Pastor untuk dapat mendekat ke Gua Natal. Gua Natal rancangan para mudika paroki masih tertata apik. Lengkap dengan dekorasi kontras ala anak muda. Sebuah diorama Kisah kelahiran Yesus Kristus yang syahdu romantis, dihiasi gambar-gambar bernuansa keprihatinan bangsa. Anak yang busung lapar, pedagang kaki lima yang sedang digusur, pengemis yang meminta di kolong jembatan tol, dan illustrasi-ilustrasi sejenisnya. Namun Sang Pastor tahu ada sesuatu yang ganjil. Ia pun turut menjadi bagian dari kerumunan yang masih kaget itu. Matanya yang kebiru-biruan memandang tak berkedip pada palungan yang kosong. Kerut di keningnya menambah koleksi lipatan di wajah senjanya. “Siapa yang mengambil patung Bayi Yesus?” tanyanya. “Itu dia Romo, kami juga tidak tahu. Apa yang harus kami lakukan sekarang Romo? Ini masa Natal, masa gua Natalnya tak ada bayi Yesus?” Tanya salah satu dari kerumunan itu. “Wah, kalau ketahuan umat paroki lain, bisa malu kita. Masa paroki segini kaya dan gede tak mampu membeli patung Natal yang lengkap. Apa kata orang nanti?”  Sambung yang lain. “Ya sudah, gimana kalau Patung Maria dan Yosefnya kita ambil saja, biar ceritanya pas. Keluarga Kudus sedang mengungsi ke Mesir. Jadi palungannya kosong hehehe….” Usul seorang muda. “Huuu…Dasar dung-dung pethok, kalau ngomong selalu asal buanget!!” protes menyusul kemudian.

“Sebentar…tenang dulu…” kata Sang Pastor sambil mengangkat tangannya dan menenangkan umatnya. “Sebenarnya bagaimana kok bisa sampai seperti ini? Tolong jelaskan!” sambungnya. “Begini Romo. Tadi saya mau berdoa di depan gua Natal ini, tapi saya lihat bahwa palungan itu kosong. Saya pikir mungkin patung bayi Yesusnya tak sengaja nggelimpang dan jatuh. Terus saya cari-cari di dalam gua itu tapi ya nggak ada. Maka saya lapor kepada Pak Ketua Panitia dan Beliau ini langsung datang kemari. Begitu Romo.” Kata seorang umat menjelaskan. “Romo, saya juga sudah sejak subuh tadi ada di gereja, tapi saya ndak lihat ada orang lain yang masuk gereja setelah bubar Misa pagi tadi kecuali Bapak ini” kata Koster sambil menunjuk pada umat yang menjelaskan tadi. “Ini pasti kerjaannya anak mudika yang iseng menyembunyikan patung itu!” Tuduh seorang. “Bukan, mungkin ada yang tak sengaja memecahkan patung itu tapi supaya tidak ketahuan, disembunyikan!” Tuduh yang lain. “Mungkin ada yang mencuri patung itu untuk dijual. Wah, pasti lakunya itu. Wong asalnya dari Roma sana.” Semua mulai lagi menggumamkan suara pemikirannya satu per satu.

“Tenang…tenang…Tunggu dulu!” Kata Sang Pastor. “Kita tidak boleh bertindak gegabah. Bagaimanapun juga, gua Natal tidak akan lengkap tanpa bayi Yesus di palungan. Jangan saling tuduh. Jangan saling tuding. Yang penting adalah kita bisa menemukan kembali patung itu. Sekarang coba kita cari tahu dulu. Kita cari informasi, siapa tahu ada saksi mata yang bisa membantu kita. Ayo coba, kita cari. Mudah-mudahan patung itu dapat segera kita temukan.” Kalimat itupun berkhasiat membubarkan kerumunan yang kini berlomba menemukan patung bayi Yesus.
= = = = = = = = = = = =  = = = = =

Rumah sepetak itu sangat sederhana. Beralaskan pasir, beratapkan terpal, bertembok jajaran bambu tua, berpenerang bulan dan matahari, beraroma semacam NH4SO4. Mungkin tak pantas lagi orang menyebutnya rumah dan memang rumah itu lebih mirip kandang ayam daripada tempat kediaman manusia. Penghuninya pun serupa. Rambutnya gimbal dan kucel sekucel sehelai kain yang menutupi badannya yang tinggal tulang. Kulitnya kering mengerut dimakan usia. Bau badannya tak jauh dari aroma pesing yang mengganggu. Perempuan itu tak peduli apa kata orang. Perempuan itu kini sedang asyik dengan momongan barunya, sedang bibirnya menggumamkan lagu “Malam Kudus”. Ditengah-tengah keasyikkannya, ia merasa diganggu. Ia terganggu oleh sekerumunan orang yang masuk dengan liarnya. “Nah, ini dia nih malingnya. Dasar orang nggak waras, sudah dikucilkan masih juga mengganggu kita! Tuh, lihat! Benar kan?! Patung bayi Yesus ada ditangannya! Dah, kita bawa saja ke gereja. Kita selesaikan di sana! Biar Romo tahu siapa yang harusnya bertanggung jawab!” Amuk mulai menggelegar. Kerumunan berarak menjauh, sementara di tengah mereka, perempuan tadi dibopong beserta patung bayi Yesus yang didekapnya.
= = = = = = = = = = = = =

Sang Pastor mengintip dari balik tirai pastoran. Dilihatnya perempuan itu masih mendekap patung Bayi Yesus. “Siapa dia itu? Rasanya saya tidak pernah melihat dia” Tanya Sang Pastor. “Sebenarnya dia dulu umat paroki kita, Romo. Konon dia seorang penulis dan penyair. Suaminya bangkrut dalam wirausahanya dan meninggalkan dia tanpa apa2. Dia kehilangan akal sehatnya sejak dia ditinggal mati kedua anak kembarnya dalam sebuah kecelakaan. Sanak saudaranya tidak diketahui. Dia mengalami goncangan jiwa yang cukup parah. Kelakuannya mulai meresahkan masyarakat. Kadang meneriakkan puisi2nya, kadang bermain drama di tengah malam. maka ia dikucilkan.” Kata Ketua Panitia Natal. “Oh…” Lirih Sang Pastor sambil mantuk-mantuk. Tangannya perlahan kembali menyibak tirai. Dilihatnya perempuan itu membelai dan mengecup patung bayi Yesus. Samar ia mendengar perempuan itu menggumam sepatah demi sepatah: “Yesusku….. ha…nya Eng...kau… yang ku…miliki. Ja…ngan per…gi. Di sini saja… Ting…gal disini saja. Bersama…ku”

= = = = = = = = = = = = = =
Jakarta, 31 Desember 2005
03:27 A.M
~ duduk di depan gua Natal gerejaku~

BOCAH KECIL DI KAMAR PENGAKUAN

Dimuat di Majalah HIDUP edisi 27 Februari 2007
======================================================================== 
Jemarinya yang bengkak-bengkok meraba kisi-kisi pintu kamar pengakuan. Ditelusurinya lubang-lubang kecil pada pintu itu. Dengan matanya yang tinggal setengah pasang, ia mengitip dan menatap jauh. Nafasnya mendesah perlahan-lahan. Takut, kalau-kalau ada yang menemukannya lantas menarik dia keluar dari “istana kecil”nya. Tak ada yang tahu mengapa dan sejak kapan dia di sana, bahkan mungkin tak ada yang peduli akan keberadaannya. Tapi mungkin itu bukan pertanyaan yang bagus. Pertanyaan yang ia tunggu adalah kapan ia akan diusir dari situ. Dibuang lagi ke jalanan, dibuang lagi ke dunia yang kejam, dibuang lagi dari hati manusia. Itulah makna hidup yang selama ini ia rangkum dalam kata: “Dibuang”

Matanya yang bulat memicing, berusaha mencari tahu keadaan di luar sana. Hanya ada seseorang dengan pakaian putih panjang, berlutut di hadapan sebuah kotak berlapis emas, lalu melangkah pergi dengan tergesa-gesa.

Setelah merasa bahwa keadaan sudah aman, ia keluar perlahan-lahan. Ngesot. Kedua kakinya bukan tidak berfungsi, tapi memang tinggal seperempat; dipotong dan dirampas oleh orang tuanya sendiri, demi meraup sedekah rasa iba di pinggir jalan raya. Dia menyeret dirinya sampai di depan kotak itu. Dia sudah tahu. Dia sudah punya strategi sendiri. Dia merayap naik ke sebuah kursi berbantal merah di dekat situ. Dengan susah payah dia meraih pintunya, membukanya, dan mengeluarkan isinya. Dia tahu. Koin-koin putih ringan itu bukan uang, tetapi sesuatu yang bisa dimakan dan memuaskan lapar perutnya. Setelah menelan beberapa, ia membereskan yang tercecer. Seolah tahu “Itu” adalah sesuatu yang suci, ia merapikannya dengan hati-hati dan mengembalikannya ke tempat semula. Perlahan-lahan ditutupnya pintu kotak emas itu, dan diseretnya kembali tubuh mungilnya, masuk ke bilik kerahiman di sudut gereja.

Begitulah selama beberapa hari ini, sang bocah melakukan ritual itu pada tengah malam. Walau tak tahu apa artinya kehidupan, namun ia mencoba untuk mempertahankannya, seolah itu adalah hadiah yang terindah baginya. Pada saat-saat tertentu, dimana ia melihat banyak orang berkerumun, ia akan keluar diam-diam, menuju gerbang gereja dan menadahkan belas kasih orang yang lewat dihadapannya. Ada yang memberinya segelas plastik berisi air, ada yang memberinya sepotong roti. Semua itu dibalasnya dengan senyuman yang kata orang, 'mengerikan'. Banyak yang memberinya kertas warna-warni yang bergambar dan berangka dan logam-logam pipih putih abu-abu maupun kuning. Dia meringis, dia tak suka, karena benda-benda itu tak bisa dimakan. Pernah ada seseorang memberikan sebuah apel merah yang besar dan mengkilat. Bocah itu tertawa dan menggumam tidak jelas. Si pemberi apel malahan menyesal karena ia baru tahu bahwa gigi bocah itu sudah hancur semua. Bila orang yang berkerumun telah membubarkan diri, ia pun pergi. Namun tak ada yang tahu kemana perginya sang bocah dan dimana keberadaan istananya. Kalaupun tahu, mungkin juga tidak peduli.

Dia senang, karena selama ini, tak ada orang yang pernah masuk dalam istananya. Dia tidak tahu, bahwa istananya itu merupakan pintu gerbang dimana manusia dapat bertemu dengan Penciptanya, Sang Maha Kerahiman, dan dibebaskan dari dosa-dosanya. Dia merasa aman. Sudah lama ia tidak mendapat pengusiran. Memang tak ada yang peduli akan keberadaannya, maka tak ada yang mengusirnya. Dia merasa terjamin, karena kotak emasnya bagaikan harta karun yang tak pernah habis memberinya makanan. Bila hujan datang dan udara menjadi dingin, ia tinggal meraih selendang ungu yang tergolek pada sebuah bangku di ruang itu, membebatnya ke tangan atau kakinya. Dan bila merasa tak berdaya, iapun cukup memejamkan matanya dan membiarkan waktu membangunkannya.

Namun tengah malam ini, ia menjalankan ritualnya dengan was-was. Ia tahu tak ada orang di dalam gereja, namun ia merasa ada mata yang mengawasinya.

Memang benar. Seorang Imam mengawasinya dari kisi-kisi yang lain. Dari dalam sudut Sakristi ia berjongkok dan menerawang lewat sebuah lubang di pintu. Gerakannya seperti mata-mata. Gelagatnya persis seperti bocah itu manakala ia mengawali ritual tengah malamnya. Sang Imam terperangah tak percaya, memandang bocah yang selama ini ia lihat di gerbang gereja setiap kali Misa selesai. Memang ia tak pernah menggubris bocah itu. Sangkanya ada yang sengaja menaruh bocah itu di gerbang gereja dan menjemputnya kembali bila sedekah telah terkumpul. Ternyata bukan. Bocah itu telah menjadi bagian dalam komunitas gerejanya.

Marah, puas, sedih bercampur haru berbaur dalam hati sang Imam. Marah karena Tubuh Kristusnya diobrak-abrik, puas karena kini ia tahu siapa si terdakwa yang selalu mengubah letak sibori-sibori di dalam Tabernakel serta mengurangi isinya. Sedih melihat keadaan tubuh bocah yang layu itu, haru akan kegigihan sang bocah untuk mempertahankan hidupnya. Bimbang Sang Imam. Apakah ia akan keluar dari Sakristi demi menghindari terjadinya dosa Sakriligi, atau tetap ditempatnya supaya bocah itu bisa menjaga kelangsungan hidupnya. Dia memilih jalan tengah. Dia keluar setelah bocah itu menyeret tubuhnya kembali dan beranjak pulang ke istananya di kamar pengakuan.

Sang bocah kaget dan hendak menjerit. “Sttt…jangan takut!” kata Sang Imam berusaha menenangkan detak jantung sang bocah. Didekapnya bocah itu dan dibawanya masuk ke pastoran. Sang bocah yang tak tahu harus berbuat apa hanya bisa pasrah dalam dekapan sang Imam. Tak lama kemudian, ia sudah berada di tempat lain. Ruangan yang meremang namun hangat, selimut yang halus, tempat tidur yang empuk, aroma makanan dan minuman yang mengundang selera, dan seorang teman yang selalu tersenyum sembari menatap kepadanya. Seandainya ia pernah dengar kata: “Surga”, mungkin itu yang akan dikatakannya. Sejenak ia merasa bahagia, lalu terlelap kembali dalam dekapan sang Imam.

Bocah itu terbangun oleh hingar-bingar orang yang berteriak-teriak. Matanya mengerjap menahan silau matahari. Beberapa detik kemudian ia sadar. Ia kembali ke dunianya yang dulu. Tak ada lagi istana kecilnya, tak ada lagi kotak harta karunnya, tak ada lagi surganya. Dia kembali ke tempat yang baru, namun sama dengan tempatnya semula. Sekali lagi ia telah dipindahkan dan sekali lagi ia membenarkan idealismenya tentang hidup: “dibuang”. Bocah itu menarik dirinya, mengesot menuju ke jalan besar. Orang yang lalu-lalang melihatnya namun tak memperhatikannya. Tak ada yang tahu ia hendak kemana dan mengapa. Barangkali besok ia muncul di bilik kamar pengakuan gerejamu.



(Kamis putih, 24-03-05)


**********


BUKU HARIAN SEORANG SEMINARIS

Posted in http://www.pondokrenungan.com/
=======================================================================
 
Minggu, 29/7/01

Tuhan,
Tadi pagi Kau bangunkan aku lewat kokok ayam di luar jendela kamarku. Pagi masih gelap. Matahari belum terbangun, sama seperti mereka yang barangkali masih bertualang di alam mimpi. Memang, inilah rutinitasku sebagai seorang seminaris. Sedikit berbeda dari kehidupan orang biasa. Namun, hari ini Romo memberi kami satu hari bebas. Setelah sarapan pagi, kami boleh melakukan apa saja yang kami mau asalkan tidak merugikan orang lain.

Tuhan, hari bebas ini kupergunakan untuk keluar dari keheningan seminari dan aku berjalan di antara hiruk-pikuk kota Jakarta. Kulihat banyak orang lalu-lalang membiayai hidup. Asap polusi sedikit mengaburkan pandangan mataku karena roda kehidupan yang terus berputar. Lalu kuarahkan langkahku ke suatu tempat dna kutengok suatu sudut dekat jalan raya. Ah, warung pojok itu masih ada. Itu salah satu tempat dimana aku sering mangkal bersama teman-temanku dulu. Di sana pula masih kutemukan wajah-wajah mereka.
Tuhan, alangkah senangnya dapat berkumpul lagi bersama mereka, membicarakan tingkah-tingkah kami yang nakal dulu, menertawakan masa-masa yang telah lewat, sampai akhirnya kami berbincang soal jalan hidup manusia.

Mereka semua tersentak berpaling kepadaku dan bertanya, “Mengapa engkau memilih jalan hidup seperti itu?” dan aku menjawab, “Karena itu panggilan Tuhan yang hendak membawaku kepada kebahagiaan” dan sedetik kemudian kudengar gelak tawa mereka. Mereka memandangku seolah-olah aku adalah seseorang yang aneh karena memilih hidup selibat, sementara orang memikirkan keluarga yang bahagia dan sejahtera dengan istri yang cantik dan anak-anak yang manis. Mereka menganggap aku orang yang bodoh dan tolol karena memilih mengekang diri dengan segala aturan yang ketat di seminari, padahal sebenarnya aku bias bebas dan berbuat apa saja yang aku inginkan seperti mereka. Merasakan asyiknya menjadi penguasa harta benda, menikmati indahnya masa muda, dan merasakan betapa menyenangkannya bila sedang kasmaran dan jatuh cinta. Mereka juga mengatakan betapa aku akan merasa rugi hidup dalam ketaatan penuh, di suruh ini dan itu, disuruh kesana kesini, belum lagi kalau melakukan kesalahan, sudah dimarahi oleh romo dan frater, masih juga ditambah hukuman yang aneh-aneh.

Tuhan, semua ini membuat aku kesal, iri dan tergoda. Terlebih ketika mereka mencemoohkan aku dengan beranggapan bahwa aku orang yang abnormal karena mencari kebahagiaan di antara kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan. Hampir saja aku menyuruh mereka untuk berhenti bercelothe dan melontarkan kata-kata yang kasar untuk membalas semua perkataan mereka.

Tuhan, tak mungkin aku memungkiriMu tentang hal ini, namun aku yakin, Engkau pasti tahu, bahwa sesungguhnya aku pun ingin merasa bebas, aku juga ingin hidup seperti layaknya orang muda, aku ingin terlena oleh kebahagiaan duniawi. Aku ingin hidup seperti dulu. Tidak banyak aturan, tidak banyak tuntutan, tidak banyak persyaratan. Aku ingin hidup sebagaimana adanya teman-temanku dan menikmati masa mudaku dengan keceriaan.

Namun sore tadi aku pulang dan merenungkan kembali panggilaMu dan jalan hidupku. Aku menyadari betapa sulitnya perjuangan yang telah kulakukan untuk menjawab bisikanMu, ketika aku harus memohon restu dari orangtuaku karena aku anak semata wayang, juga teman-temanku yang selalu butuh canda tawaku, dan yang paling sulit adalah ketika aku pada akhirnya harus berhadapan lagi dengan diriku sendiri yang bergulat dalam keragu-raguan, sampai akhirnya aku kembali kepadaMu, pasrah terhadap kehendakMu, Tuhan.

Aku melihat bahwa semua ini terjadi karena keegoisan. Semua yang dipikirkan hanyalah aku dan diri mereka sendiri. Sungguh sulit rasanya untuk membuka mata mereka bahwa masih ada dunia yang memerlukan aku dan diri mereka sendiri. Aku tak tahu bagaimana caranya menerangkan kepada mereka bahwa mereka dapat menjadi berkat dan perpanjangan tanganMu bagi banyak orang. Bagaimana aku dapat menjelaskan misteri panggilanMu yang bergema di hati setiap orang, dimana Engkau menyediakan kebahagiaan dengan cara yang amat ajaib dan istimewa.

Tuhan, meski batinku bergolak pada hari ini, tapi lewat rutinitasku sebagai seorang seminaris, aku dapat sering bertemu denganMu dan itu semua menyadarkan aku bahwa sebenarnya aku merasa bahagia. Aku bahagia melewatkan hari-hariku dengan bekal untuk menjad seorang imam. Aku bahagia berada dalam lingkaran kemiskinan, ketaatan dan kemurnian, bahkan aku khawatir kalau-kalau ada yang merampas kehidupan yang membuat aku menjadi bahagia, sekalipun aku tak mengerti apa yang membuatku bahagia. Tuhan, bisikanlah suaraMu pada mereka dan tunjukkan jalan kebahagiaan yang Kau sediakan bagi mereka. Semoga dengan rela mereka mau menyerahkan dirinya kepadaMu dan ikut dalam mewujudkan kerajaanMu di dunia ini demi kebahagiaan setiap insan dan kemuliaan namaMu.

Tuhan, satu hari ini sudah hampir lewat. Biarlah kututup sementara buku harian ini dan esok sudilah Engkau isikan halaman-halaman berikutnya lewat hari-hariku yang membahagiakan.


Jkt, 29 Juli 2001
Posted in http://www.pondokrenungan.com/

MEMPERMAINKAN KERAHIMAN ALLAH

“Pergilah ke gereja dan duduklah disana sampai kamu puas!”

Hanya itu yang dikatakannya. Jawaban yang sama sekali tak kuharapkan dari seorang pembimbing. Tadinya aku mengharapkan jawaban yang psiko-filosofis. Jawaban teologis sekaligus ilmiah yang biasanya muncul dari mulut para superiorku. Tapi kali ini tidak. Satu jam sharing yang sia-sia. Rentetan kalimat tentang jatuh bangun dan perjuangan sulitku dalam menjalani kehidupan pastoral ini hanya dijawab dengan satu kalimat yang seorang umat biasa pun dapat mengeluarkannya. Aku yang biasanya berdebat dengan kakak-kakak tingkatanku juga kadang dengan para superior untuk mencari pembenaran atas premis-premisku, kali ini merasa seperti sedang bermain catur dengan seorang bocah SD yang mengatakan: “Skak mat!” dan aku tidak bisa apa-apa kecuali tersentak beku. Terhipnotis dan menurut. Maka kaki pun kulangkahkan keluar dari pastoran dan masuk ke gereja, lalu aku duduk di bangku paling depan, paling dekat Tabernakel.

Ada Pak Djiwo, koster gereja yang sedang menyapu sudut belakang altar. Ia tersenyum seraya mengangguk. Aku pun mengangguk membalas sapaannya. Pikiranku masih geram. Aku kecewa dengan jawaban yang begitu sederhana. Jawaban konyol. Jawaban yang aku sendiri pun bisa memikirkannya. Jawaban yang pasti disalahkan oleh dosen seandainya aku menulisnya di atas kertas ujianku. Tapi justru jawaban itu yang kuterima. Dan yang juga sedang kuturuti.

Aku hanya duduk diam. Kalau aku tidak mendapat apa-apa dari semua ini, setidaknya aku bisa menjernihkan kekalutanku, pikirku. Lima belas, tiga puluh, empat puluh menit sudah aku duduk disini. Pikiranku kacau. Bagaimana caranya aku mengatasi semua ini? Tahun Orientasi Pastoralku kurasakan gagal. Begitu banyak umat yang kujumpai, begitu banyak juga karya pelayanan yang kujalani. Semakin imami aku di hadapan banyak orang, tapi semakin manusiawi aku jadinya. Doa dan karya yang aku gembar-gemborkan pada umat disambut-balas dengan kegiatan menggereja yang semakin meriuh ramai. Kata orang, aku berhasil menghidupkan kembali semarak Gereja basis. Sementara aku sendiri justru merasa makin pudar. Kehidupan rohaniku makin kacau. Doa, Ekaristi dan ibadatku tak pernah benar-benar dari hati melainkan dari kewajiban dan ketakutan untuk dinilai “tidak taat dan tidak suci” oleh pembimbing TOPku. Juga prinsip diri yang kubawa terjun ke dalam gerakan muda-mudi, “Mengarahkan kehidupan yang sensual dan seksual sebagai sesuatu yang suci dan bukan murahan” kini terjungkir dalam diriku menjadi “Menjerumuskan diri sendiri pada sesuatu yang kotor dan rendahan”. Entah berapa kali buku jurnal tentang diriku kuisi dengan hal-hal buruk yang selama ini aku sembunyikan dari orang lain. Entah berapa kali aku tuliskan di dalamnya bahwa aku memohon ampun pada Tuhan atas semua dosa-dosa ini. Dan entah berapa kali aku sengaja tidak menuliskan kerapuhan dan kejatuhanku karena aku malu bila orang sampai tahu bahwa aku jatuh terus-menerus ke dalam dosa yang sama. Di luar buku jurnal itu, kehidupanku di paroki ibu kota ini tampak begitu normal. Tugas perutusanku, yakni membawa umat kepada Allah, aku jalani dengan baik. Namun bagaimana itu menjadi baik, sedangkan aku sendiri tidak pernah menjumpai Allah di sini? Aku hidup dekat dengan Tuhan, tapi aku tidak dekat denganNya. Aku mewartakan keberadaanNya disini, tapi aku tidak merasakan adaNya. Aku berusaha menunjukkan kesempurnaan hidup yang kuabdikan padaNya, tapi hanyalah kehancuran dan kerapuhan yang kujumpai dalam diriku. Kering. Hampa. Tak berdaya. Bagaimana ini?  Tuhan, aku yakin Engkau ada, namun seringkali kulupakan Engkau. Engkau tahu semua itu. Bagaimana caranya agar aku dapat menemukan Engkau lagi? Bagaimana supaya aku tidak jatuh berulang kali pada dosa-dosa yang sama ini? gemaku meracau tumpang tindih dalam hati.

“Nggak istirahat, Frater? Kelihatannya lelah sekali.” kata Pak Djiwo yang tahu-tahu sudah ada di dekatku.
“Iya pak, lagi suntuk aja.” jawabku ringan.
“Biarawan juga manusia ya, Frat?” tukasnya sambil tertawa kecil. Aku terpaksa ikut tertawa kecil untuk menghindari kesan ketus. Obrolan ringkas berubah menjadi sharing yang mirip dengan yang dua jam lalu di pastoran, meski tak sedalam dan sedetil yang pertama. Aku tidak keberatan sharing dengan Pak Djiwo. Pribadi Beliau yang begitu bersahaja, sabar dan penuh ketekunan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para misdinar dan orang-orang lain untuk selalu berbagi cerita dengannya. Di tambah lagi dengan pengalaman memiliki anak yang juga calon imam, pasti Beliau bisa memahamiku meskipun mungkin kadar intelektualitas kami berbeda.

“Frater, saya yang sudah hampir tiga puluh tahun bekerja di gereja saja masih sering merasa demikian. Kadang saya berpikir, kita orang-orang yang hidupnya dekat dengan hal-hal yang religius malah sering mempermainkan kerahiman Allah. Kita tahu kita hidup dekat dengan Allah. Kita tahu yang namanya bertobat dan memohon kerahiman Allah. Kita juga percaya kalau Tuhan itu maharahim dan maha pengampun. Kita membawa orang untuk bertobat dan mencicipi kerahiman Allah, lalu membuat mereka percaya bahwa Tuhan itu selalu berbelas kasih dan siap mengampuni dosa-dosa kita.

Tapi inilah yang justru kita salah gunakan. Kita mempermainkan kerahiman Allah. Kita yakin benar bahwa Allah selalu menyiapkan kerahimanNya untuk mengampuni kita. Kita anggap bahwa kalau kita berdosa, Allah pasti mengampuni dan karena itu, kita malah tidak takut untuk berbuat dosa. Hari ini berdosa, besok tinggal minta ampun. Gampang. Besok siang berdosa, malamnya minta ampun. Selesai. Lusa pagi berdosa, siangnya ke gereja minta Sakramen Tobat. Beres. Dan begitu seterusnya. Tomat alias tobat-kumat-tobat-kumat. Sampai kita tidak bisa lagi merasakan kerahiman Allah yang sesungguhnya

Sama seperti seorang bayi yang bermain dalam rahim ibunya. Bayi itu menendang, meninju dan mencubit dinding rahim sang ibu, tapi tak kelihatan karena bayi itu ada di dalam kandungan. Namun sang ibu pasti tahu kalau si anak sedang ‘nakal’. Kadang kita seperti itu. Kita tidak kelihatan mempermainkan kerahiman Allah karena kita ada di dalam ‘rahim’ Allah itu sendiri. Kita aman karena kita selalu tersembunyi di dalam kehidupan gereja yang sangat rohani, religius dan terkesan bersih juga suci. Tapi Tuhan tahu semua itu.

Waduh, Frater, nuwun sewu. Maaf, bukannya saya bermaksud kurang ajar mau mengkhotbahi Frater…” tiba-tiba Pak Djiwo gelagapan.
Aku tersenyum. “Tidak apa-apa Pak, saya malah senang bisa mendengar sharing dari Bapak juga. Ternyata saya tidak hanya bisa belajar dari superior dan kakak-kakak tingkatan saya tapi saya juga bisa belajar dari pengalaman rohani Bapak. Justru saya yang berterima kasih.”
“Sama-sama Frater. Maaf, Frater, saya mau menyambung kerja lagi ya!” sahutnya seraya meraih gagang sapu di dekat kakinya lalu melangkah ke sudut lain.

“Ya Tuhan, ternyata selama ini aku mempermainkan kerahimanMu. Kerahiman dan pengampunanMu yang begitu suci justru aku pergunakan sembarangan seolah-olah itu adalah barang yang sepele dan murah. Aku memohon ampun padaMu, tapi tak sungguh-sungguh bertobat. Aku menjauhkan umat dari hal-hal yang buruk dan merusak iman, namun aku malah mendekati dan menikmatinya. Aku tahu bahwa hal-hal itu dosa, namun aku sengaja berdosa dengan sadar karena yakin bahwa Engkau akan mengampuniku. Ini semua menyebabkan aku tak lagi merasakan kasih kerahimanMu dan membuatku tak lagi mengenalMu secara pribadi. Tuhan, aku tidak mau begini terus. Bantulah aku untuk tegas pada diriku dalam memilih mana yang baik dan tepat bagi kehidupan iman dan pribadiku. Tuhan, kali ini aku sungguh-sungguh minta ampun atas semua dosa-dosaku dan bantulah aku untuk tidak lagi mempermainkan kerahimanMu.” doaku membisik dalam keheningan gereja (beriringan dengan air mata kering yang menetesi wajahku).

********
1 Jun 2007