“Pergilah
ke gereja dan duduklah disana sampai kamu puas!”
Hanya itu
yang dikatakannya. Jawaban yang sama sekali tak kuharapkan dari seorang
pembimbing. Tadinya aku mengharapkan jawaban yang psiko-filosofis. Jawaban
teologis sekaligus ilmiah yang biasanya muncul dari mulut para superiorku. Tapi
kali ini tidak. Satu jam sharing yang sia-sia. Rentetan kalimat tentang jatuh
bangun dan perjuangan sulitku dalam menjalani kehidupan pastoral ini hanya
dijawab dengan satu kalimat yang seorang umat biasa pun dapat mengeluarkannya.
Aku yang biasanya berdebat dengan kakak-kakak tingkatanku juga kadang dengan
para superior untuk mencari pembenaran atas premis-premisku, kali ini merasa
seperti sedang bermain catur dengan seorang bocah SD yang mengatakan: “Skak
mat!” dan aku tidak bisa apa-apa kecuali tersentak beku. Terhipnotis dan
menurut. Maka kaki pun kulangkahkan keluar dari pastoran dan masuk ke gereja,
lalu aku duduk di bangku paling depan, paling dekat Tabernakel.
Ada Pak
Djiwo, koster gereja yang sedang menyapu sudut belakang altar. Ia tersenyum
seraya mengangguk. Aku pun mengangguk membalas sapaannya. Pikiranku masih
geram. Aku kecewa dengan jawaban yang begitu sederhana. Jawaban konyol. Jawaban
yang aku sendiri pun bisa memikirkannya. Jawaban yang pasti disalahkan oleh
dosen seandainya aku menulisnya di atas kertas ujianku. Tapi justru jawaban itu
yang kuterima. Dan yang juga sedang kuturuti.
Aku hanya
duduk diam. Kalau aku tidak mendapat apa-apa dari semua ini, setidaknya aku
bisa menjernihkan kekalutanku, pikirku. Lima belas, tiga puluh, empat puluh menit
sudah aku duduk disini. Pikiranku kacau. Bagaimana caranya aku mengatasi semua
ini? Tahun Orientasi Pastoralku kurasakan gagal. Begitu banyak umat yang
kujumpai, begitu banyak juga karya pelayanan yang kujalani. Semakin imami aku
di hadapan banyak orang, tapi semakin manusiawi aku jadinya. Doa dan karya yang
aku gembar-gemborkan pada umat disambut-balas dengan kegiatan menggereja yang
semakin meriuh ramai. Kata orang, aku berhasil menghidupkan kembali semarak
Gereja basis. Sementara aku sendiri justru merasa makin pudar. Kehidupan
rohaniku makin kacau. Doa, Ekaristi dan ibadatku tak pernah benar-benar dari
hati melainkan dari kewajiban dan ketakutan untuk dinilai “tidak taat dan tidak
suci” oleh pembimbing TOPku. Juga prinsip diri yang kubawa terjun ke dalam
gerakan muda-mudi, “Mengarahkan kehidupan yang sensual dan seksual sebagai
sesuatu yang suci dan bukan murahan” kini terjungkir dalam diriku menjadi
“Menjerumuskan diri sendiri pada sesuatu yang kotor dan rendahan”. Entah berapa
kali buku jurnal tentang diriku kuisi dengan hal-hal buruk yang selama ini aku
sembunyikan dari orang lain. Entah berapa kali aku tuliskan di dalamnya bahwa
aku memohon ampun pada Tuhan atas semua dosa-dosa ini. Dan entah berapa kali
aku sengaja tidak menuliskan kerapuhan dan kejatuhanku karena aku malu bila
orang sampai tahu bahwa aku jatuh terus-menerus ke dalam dosa yang sama. Di
luar buku jurnal itu, kehidupanku di paroki ibu kota ini tampak begitu normal.
Tugas perutusanku, yakni membawa umat kepada Allah, aku jalani dengan baik.
Namun bagaimana itu menjadi baik, sedangkan aku sendiri tidak pernah menjumpai
Allah di sini? Aku hidup dekat dengan Tuhan, tapi aku tidak dekat denganNya.
Aku mewartakan keberadaanNya disini, tapi aku tidak merasakan adaNya. Aku
berusaha menunjukkan kesempurnaan hidup yang kuabdikan padaNya, tapi hanyalah
kehancuran dan kerapuhan yang kujumpai dalam diriku. Kering. Hampa. Tak
berdaya. Bagaimana ini? Tuhan, aku yakin Engkau ada, namun
seringkali kulupakan Engkau. Engkau tahu semua itu. Bagaimana caranya agar aku
dapat menemukan Engkau lagi? Bagaimana supaya aku tidak jatuh berulang kali
pada dosa-dosa yang sama ini? gemaku meracau tumpang tindih dalam hati.
“Nggak
istirahat, Frater? Kelihatannya lelah sekali.” kata Pak Djiwo yang tahu-tahu
sudah ada di dekatku.
“Iya pak,
lagi suntuk aja.” jawabku ringan.
“Biarawan
juga manusia ya, Frat?” tukasnya sambil tertawa kecil. Aku terpaksa ikut
tertawa kecil untuk menghindari kesan ketus. Obrolan ringkas berubah menjadi
sharing yang mirip dengan yang dua jam lalu di pastoran, meski tak sedalam dan
sedetil yang pertama. Aku tidak keberatan sharing dengan Pak Djiwo. Pribadi
Beliau yang begitu bersahaja, sabar dan penuh ketekunan ini menjadi daya tarik
tersendiri bagi para misdinar dan orang-orang lain untuk selalu berbagi cerita
dengannya. Di tambah lagi dengan pengalaman memiliki anak yang juga calon imam,
pasti Beliau bisa memahamiku meskipun mungkin kadar intelektualitas kami
berbeda.
“Frater,
saya yang sudah hampir tiga puluh tahun bekerja di gereja saja masih sering
merasa demikian. Kadang saya berpikir, kita orang-orang yang hidupnya dekat
dengan hal-hal yang religius malah sering mempermainkan kerahiman Allah. Kita
tahu kita hidup dekat dengan Allah. Kita tahu yang namanya bertobat dan memohon
kerahiman Allah. Kita juga percaya kalau Tuhan itu maharahim dan maha
pengampun. Kita membawa orang untuk bertobat dan mencicipi kerahiman Allah,
lalu membuat mereka percaya bahwa Tuhan itu selalu berbelas kasih dan siap
mengampuni dosa-dosa kita.
Tapi inilah
yang justru kita salah gunakan. Kita mempermainkan kerahiman Allah. Kita yakin
benar bahwa Allah selalu menyiapkan kerahimanNya untuk mengampuni kita. Kita
anggap bahwa kalau kita berdosa, Allah pasti mengampuni dan karena itu, kita
malah tidak takut untuk berbuat dosa. Hari ini berdosa, besok tinggal minta
ampun. Gampang. Besok siang berdosa, malamnya minta ampun. Selesai. Lusa pagi
berdosa, siangnya ke gereja minta Sakramen Tobat. Beres. Dan begitu seterusnya.
Tomat alias tobat-kumat-tobat-kumat. Sampai kita tidak bisa lagi merasakan
kerahiman Allah yang sesungguhnya
Sama
seperti seorang bayi yang bermain dalam rahim ibunya. Bayi itu menendang,
meninju dan mencubit dinding rahim sang ibu, tapi tak kelihatan karena bayi itu
ada di dalam kandungan. Namun sang ibu pasti tahu kalau si anak sedang ‘nakal’.
Kadang kita seperti itu. Kita tidak kelihatan mempermainkan kerahiman Allah
karena kita ada di dalam ‘rahim’ Allah itu sendiri. Kita aman karena kita
selalu tersembunyi di dalam kehidupan gereja yang sangat rohani, religius dan
terkesan bersih juga suci. Tapi Tuhan tahu semua itu.
Waduh,
Frater, nuwun sewu. Maaf, bukannya saya bermaksud kurang ajar mau mengkhotbahi
Frater…” tiba-tiba Pak Djiwo gelagapan.
Aku
tersenyum. “Tidak apa-apa Pak, saya malah senang bisa mendengar sharing dari
Bapak juga. Ternyata saya tidak hanya bisa belajar dari superior dan
kakak-kakak tingkatan saya tapi saya juga bisa belajar dari pengalaman rohani
Bapak. Justru saya yang berterima kasih.”
“Sama-sama
Frater. Maaf, Frater, saya mau menyambung kerja lagi ya!” sahutnya seraya
meraih gagang sapu di dekat kakinya lalu melangkah ke sudut lain.
“Ya Tuhan, ternyata selama ini aku
mempermainkan kerahimanMu. Kerahiman dan pengampunanMu yang begitu suci justru
aku pergunakan sembarangan seolah-olah itu adalah barang yang sepele dan murah.
Aku memohon ampun padaMu, tapi tak sungguh-sungguh bertobat. Aku menjauhkan
umat dari hal-hal yang buruk dan merusak iman, namun aku malah mendekati dan
menikmatinya. Aku tahu bahwa hal-hal itu dosa, namun aku sengaja berdosa dengan
sadar karena yakin bahwa Engkau akan mengampuniku. Ini semua menyebabkan aku
tak lagi merasakan kasih kerahimanMu dan membuatku tak lagi mengenalMu secara
pribadi. Tuhan, aku tidak mau begini terus. Bantulah aku untuk tegas pada
diriku dalam memilih mana yang baik dan tepat bagi kehidupan iman dan
pribadiku. Tuhan, kali ini aku sungguh-sungguh minta ampun atas semua
dosa-dosaku dan bantulah aku untuk tidak lagi mempermainkan kerahimanMu.” doaku membisik dalam keheningan
gereja (beriringan dengan air mata kering yang menetesi wajahku).
********
1 Jun 2007
No comments:
Post a Comment