Thursday, April 4, 2013

MEMPERMAINKAN KERAHIMAN ALLAH

“Pergilah ke gereja dan duduklah disana sampai kamu puas!”

Hanya itu yang dikatakannya. Jawaban yang sama sekali tak kuharapkan dari seorang pembimbing. Tadinya aku mengharapkan jawaban yang psiko-filosofis. Jawaban teologis sekaligus ilmiah yang biasanya muncul dari mulut para superiorku. Tapi kali ini tidak. Satu jam sharing yang sia-sia. Rentetan kalimat tentang jatuh bangun dan perjuangan sulitku dalam menjalani kehidupan pastoral ini hanya dijawab dengan satu kalimat yang seorang umat biasa pun dapat mengeluarkannya. Aku yang biasanya berdebat dengan kakak-kakak tingkatanku juga kadang dengan para superior untuk mencari pembenaran atas premis-premisku, kali ini merasa seperti sedang bermain catur dengan seorang bocah SD yang mengatakan: “Skak mat!” dan aku tidak bisa apa-apa kecuali tersentak beku. Terhipnotis dan menurut. Maka kaki pun kulangkahkan keluar dari pastoran dan masuk ke gereja, lalu aku duduk di bangku paling depan, paling dekat Tabernakel.

Ada Pak Djiwo, koster gereja yang sedang menyapu sudut belakang altar. Ia tersenyum seraya mengangguk. Aku pun mengangguk membalas sapaannya. Pikiranku masih geram. Aku kecewa dengan jawaban yang begitu sederhana. Jawaban konyol. Jawaban yang aku sendiri pun bisa memikirkannya. Jawaban yang pasti disalahkan oleh dosen seandainya aku menulisnya di atas kertas ujianku. Tapi justru jawaban itu yang kuterima. Dan yang juga sedang kuturuti.

Aku hanya duduk diam. Kalau aku tidak mendapat apa-apa dari semua ini, setidaknya aku bisa menjernihkan kekalutanku, pikirku. Lima belas, tiga puluh, empat puluh menit sudah aku duduk disini. Pikiranku kacau. Bagaimana caranya aku mengatasi semua ini? Tahun Orientasi Pastoralku kurasakan gagal. Begitu banyak umat yang kujumpai, begitu banyak juga karya pelayanan yang kujalani. Semakin imami aku di hadapan banyak orang, tapi semakin manusiawi aku jadinya. Doa dan karya yang aku gembar-gemborkan pada umat disambut-balas dengan kegiatan menggereja yang semakin meriuh ramai. Kata orang, aku berhasil menghidupkan kembali semarak Gereja basis. Sementara aku sendiri justru merasa makin pudar. Kehidupan rohaniku makin kacau. Doa, Ekaristi dan ibadatku tak pernah benar-benar dari hati melainkan dari kewajiban dan ketakutan untuk dinilai “tidak taat dan tidak suci” oleh pembimbing TOPku. Juga prinsip diri yang kubawa terjun ke dalam gerakan muda-mudi, “Mengarahkan kehidupan yang sensual dan seksual sebagai sesuatu yang suci dan bukan murahan” kini terjungkir dalam diriku menjadi “Menjerumuskan diri sendiri pada sesuatu yang kotor dan rendahan”. Entah berapa kali buku jurnal tentang diriku kuisi dengan hal-hal buruk yang selama ini aku sembunyikan dari orang lain. Entah berapa kali aku tuliskan di dalamnya bahwa aku memohon ampun pada Tuhan atas semua dosa-dosa ini. Dan entah berapa kali aku sengaja tidak menuliskan kerapuhan dan kejatuhanku karena aku malu bila orang sampai tahu bahwa aku jatuh terus-menerus ke dalam dosa yang sama. Di luar buku jurnal itu, kehidupanku di paroki ibu kota ini tampak begitu normal. Tugas perutusanku, yakni membawa umat kepada Allah, aku jalani dengan baik. Namun bagaimana itu menjadi baik, sedangkan aku sendiri tidak pernah menjumpai Allah di sini? Aku hidup dekat dengan Tuhan, tapi aku tidak dekat denganNya. Aku mewartakan keberadaanNya disini, tapi aku tidak merasakan adaNya. Aku berusaha menunjukkan kesempurnaan hidup yang kuabdikan padaNya, tapi hanyalah kehancuran dan kerapuhan yang kujumpai dalam diriku. Kering. Hampa. Tak berdaya. Bagaimana ini?  Tuhan, aku yakin Engkau ada, namun seringkali kulupakan Engkau. Engkau tahu semua itu. Bagaimana caranya agar aku dapat menemukan Engkau lagi? Bagaimana supaya aku tidak jatuh berulang kali pada dosa-dosa yang sama ini? gemaku meracau tumpang tindih dalam hati.

“Nggak istirahat, Frater? Kelihatannya lelah sekali.” kata Pak Djiwo yang tahu-tahu sudah ada di dekatku.
“Iya pak, lagi suntuk aja.” jawabku ringan.
“Biarawan juga manusia ya, Frat?” tukasnya sambil tertawa kecil. Aku terpaksa ikut tertawa kecil untuk menghindari kesan ketus. Obrolan ringkas berubah menjadi sharing yang mirip dengan yang dua jam lalu di pastoran, meski tak sedalam dan sedetil yang pertama. Aku tidak keberatan sharing dengan Pak Djiwo. Pribadi Beliau yang begitu bersahaja, sabar dan penuh ketekunan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para misdinar dan orang-orang lain untuk selalu berbagi cerita dengannya. Di tambah lagi dengan pengalaman memiliki anak yang juga calon imam, pasti Beliau bisa memahamiku meskipun mungkin kadar intelektualitas kami berbeda.

“Frater, saya yang sudah hampir tiga puluh tahun bekerja di gereja saja masih sering merasa demikian. Kadang saya berpikir, kita orang-orang yang hidupnya dekat dengan hal-hal yang religius malah sering mempermainkan kerahiman Allah. Kita tahu kita hidup dekat dengan Allah. Kita tahu yang namanya bertobat dan memohon kerahiman Allah. Kita juga percaya kalau Tuhan itu maharahim dan maha pengampun. Kita membawa orang untuk bertobat dan mencicipi kerahiman Allah, lalu membuat mereka percaya bahwa Tuhan itu selalu berbelas kasih dan siap mengampuni dosa-dosa kita.

Tapi inilah yang justru kita salah gunakan. Kita mempermainkan kerahiman Allah. Kita yakin benar bahwa Allah selalu menyiapkan kerahimanNya untuk mengampuni kita. Kita anggap bahwa kalau kita berdosa, Allah pasti mengampuni dan karena itu, kita malah tidak takut untuk berbuat dosa. Hari ini berdosa, besok tinggal minta ampun. Gampang. Besok siang berdosa, malamnya minta ampun. Selesai. Lusa pagi berdosa, siangnya ke gereja minta Sakramen Tobat. Beres. Dan begitu seterusnya. Tomat alias tobat-kumat-tobat-kumat. Sampai kita tidak bisa lagi merasakan kerahiman Allah yang sesungguhnya

Sama seperti seorang bayi yang bermain dalam rahim ibunya. Bayi itu menendang, meninju dan mencubit dinding rahim sang ibu, tapi tak kelihatan karena bayi itu ada di dalam kandungan. Namun sang ibu pasti tahu kalau si anak sedang ‘nakal’. Kadang kita seperti itu. Kita tidak kelihatan mempermainkan kerahiman Allah karena kita ada di dalam ‘rahim’ Allah itu sendiri. Kita aman karena kita selalu tersembunyi di dalam kehidupan gereja yang sangat rohani, religius dan terkesan bersih juga suci. Tapi Tuhan tahu semua itu.

Waduh, Frater, nuwun sewu. Maaf, bukannya saya bermaksud kurang ajar mau mengkhotbahi Frater…” tiba-tiba Pak Djiwo gelagapan.
Aku tersenyum. “Tidak apa-apa Pak, saya malah senang bisa mendengar sharing dari Bapak juga. Ternyata saya tidak hanya bisa belajar dari superior dan kakak-kakak tingkatan saya tapi saya juga bisa belajar dari pengalaman rohani Bapak. Justru saya yang berterima kasih.”
“Sama-sama Frater. Maaf, Frater, saya mau menyambung kerja lagi ya!” sahutnya seraya meraih gagang sapu di dekat kakinya lalu melangkah ke sudut lain.

“Ya Tuhan, ternyata selama ini aku mempermainkan kerahimanMu. Kerahiman dan pengampunanMu yang begitu suci justru aku pergunakan sembarangan seolah-olah itu adalah barang yang sepele dan murah. Aku memohon ampun padaMu, tapi tak sungguh-sungguh bertobat. Aku menjauhkan umat dari hal-hal yang buruk dan merusak iman, namun aku malah mendekati dan menikmatinya. Aku tahu bahwa hal-hal itu dosa, namun aku sengaja berdosa dengan sadar karena yakin bahwa Engkau akan mengampuniku. Ini semua menyebabkan aku tak lagi merasakan kasih kerahimanMu dan membuatku tak lagi mengenalMu secara pribadi. Tuhan, aku tidak mau begini terus. Bantulah aku untuk tegas pada diriku dalam memilih mana yang baik dan tepat bagi kehidupan iman dan pribadiku. Tuhan, kali ini aku sungguh-sungguh minta ampun atas semua dosa-dosaku dan bantulah aku untuk tidak lagi mempermainkan kerahimanMu.” doaku membisik dalam keheningan gereja (beriringan dengan air mata kering yang menetesi wajahku).

********
1 Jun 2007

No comments:

Post a Comment