Thursday, April 4, 2013

NOVEN


Ya, namanya Noven. Gadis cilik itu sudah sejak pagi duduk di sofa dekat pintu rumah. Pandangannya tak kunjung lepas dari balik bordiran gorden. Seolah tak lelah dan tak jenuh ia termangu-mangu di situ. Rupanya hari Minggu ini ia lebih memilih berbuat begitu ketimbang nonton acara televisi kesayangannya.

“…dan penghargaan untuk siswa terbaik tahun 2011, diberikan kepada… Novena Triave Maria…!!!” sontak serbu tepukan tangan membahana di aula Sekolah Dasar itu. Memoriku memutar ulang kejadian sepuluh hari lalu, pesta perpisahan layaknya setiap akhir tahun ajaran bagi para tunas pemikir. Noven tahun ini menjadi bintangnya. Dia berhasil mengakhiri kehidupan pendidikan dasarnya dengan gemilang. Tahun-tahun yang lalu ia tak secemerlang teman-temannya tapi ia tak pernah mangkir dari urutan rangking sepuluh besar. Dia berjuang banyak untuk semua ini dan aku tahu betul akan hal itu.

Beberapa jam setelah pesta perpisahan itu, aku berjanji di tempat tidurnya, “Kamu boleh minta apa saja!” kataku seraya tersenyum sambil mengelus keningnya. ”Beneran?” tanyanya girang. Aku mengangguk. Aku berani menjanjikan ini karena aku yakin, ia tidak akan minta yang aneh-aneh. Noven tahu benar keadaan orang tuanya dan ia bukan tipe anak yang menyusahkan hati. Mata mungilnya yang sudah mengantuk melirik ke kanan atas sambil mengedip-kedip, tanda bahwa ia sedang berpikir sungguh untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. “Noven mau doa Novena bareng Ayah. Noven mau minta supaya Ibu pulang…” Wajahnya yang tadi masih berseri perlahan mengerut berganti sendu. Jantungku serasa ditonjok palu besar namun aku segera menutupinya dengan senyuman, ciuman di keningnya, ucapan selamat tidur dan tentu saja janji bahwa aku akan mengabulkan permintaannya mulai besok.

Kurebahkan badanku di ranjang. Kedua tanganku menopang kepalaku. Apa yang diminta Noven tidak berat untuk ukuran dompetku, tapi berat untuk ukuran jiwaku. “Apa salahnya kalau dia minta berdoa Novena?” sebuah suara berbicara dalam hatiku. Ya, Noven lahir dari doa novena kami. Sebelas tahun yang lalu, aku dan isteriku begitu gelisah karena kami tak kunjung dikaruniai momongan. Semua yang bersangkutan dengan masalah biologis sudah diperiksa dan kata dokter, “Hanya belum beruntung saja!”. Akhirnya kami memutuskan untuk berdoa Novena seperti kebanyakan orang Katolik pada umumnya bila keadaan sudah seolah tak berjalan keluar. Sembilan kali sembilan hari jam sembilan malam, kalimat “Bunda Maria, Perawan yang kuasa,…” senantiasa menjadi kalimat pembuka dalam doa kami. Hari ke delapan puluh dua setelah novena, isteriku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya dan singkat cerita kami bersorak girang di ruang praktek dokter karena berita yang dinantikan tiba. Seolah semua diatur sedemikan rupa, ia lahir tanggal sembilan, bulan sembilan dan tahun sembilan sembilan. Kami memberinya nama Novena Triave Maria, bahasa lain untuk mengatakan Novena Tiga Salam Maria.

“Ia datang dari novena. Apa salahnya kalau ia sekarang minta berdoa novena? Mungkin kali ini akan terkabul. Kan Tuhan mendengarkan doa anak kecil!” hatiku kembali berbisik. Aku menggeliat memeluk bantal.

Bukan itu masalahnya! Masalahnya aku tidak siap kalau isteriku kembali ke rumah ini. Dulu ia yang meminta keluar karena lebih mencintai lelaki busuk itu. Aku mengijinkannya bukan karena aku mau mengalah bukan pula karena aku rela berbuat apa saja asalkan ia berbahagia, bukan juga karena aku begitu menyadari bahwa aku tak selalu bisa memenuhi harapannya. Aku tidak sebaik itu. Aku membiarkan dia pergi, karena aku merasa dia perempuan murahan yang lebih pantas hidup bersama lelaki murahan. Sementara aku adalah lelaki mahal. Aku mahal karena aku setia. Kubuktikan ini dengan menjaga Noven sebaik mungkin dan menjaga jarak dalam berelasi dengan perempuan lain. Aku tidak mau membuat Noven kecewa karena mempunyai seorang ayah yang tidak setia pada janji pernikahan Sakramen Gereja. Ibunya pasti sudah mengecewakannya, tapi aku tidak akan! Aku mau membuktikan bahwa aku tidak seperti lelaki yang lain. Ya, harus kuakui bahwa aku sombong. Belum siap aku menjadi rendah hati, belum siap aku menjadi Yesus yang mengampuni perempuan pezinah, belum siap aku menjadi Bapa yang baik bagi si bungsu yang hilang.



“Bunda Maria, Perawan yang Kuasa…” kusertai suara Noven yang lirih mengucapkan doa itu. Kami berdua bersimpuh di hadapan meja kecil yang di atasnya berdiri sebuah Patung mungil, Bunda Maria dengan mantol birunya. Dua lilin mengapit patung itu. Sebuah salib menjadi latarnya. “Bunda, Noven mohon supaya Ibu bisa pulang. Noven kangen sama Ibu. Noven sayang sama Ibu” Kalimat itu mengisi bagian titik-titik dalam teks doa Novena. Begitulah, sembilan malam, pukul sembilan, dan hari ini adalah hari kesepuluh. Noven masih saja termangu-mangu di kursi dekat jendela.



Seharian aku gelisah. Manusia tak mampu mengatur segala hal yang terjadi, tapi manusia diberi kemampuan mengatur bagaimana ia bereaksi. Apa reaksi yang akan kuberikan kalau isteriku pulang? Di satu sisi aku masih marah, di sisi lain aku tahu Noven memerlukan dia, atau… inikah bahasaku untuk mengatakan bahwa aku masih memerlukannya… masih mencintainya…? Sejak aku kehilangan dia, aku seperti kehilangan separuh diriku… Acara televisi dewasa yang biasanya kami tonton bersama kini sudah tak lagi menggugah selera semenjak aku sendiri. Tak ada lagi acara makan malam di rumah karena aku toh bukan koki yang baik. Telinga yang dulu mendengarkanku bercerita tentang hariku kini tiada dan aku juga tak lagi memiliki telinga yang berselera untuk mendengarkan cerita orang tentang kehidupannya, kecuali bagi Noven. Inikah yang selama ini diajarkan padaku, bahwa cinta itu melengkapi dan mengutuhkan diri yang bercinta?”



“Ayah?” Noven menengok padaku hendak bertanya. Aku mengangkat mataku memberi signal bahwa aku siap menjawab pertanyaannya. “Kalo Ibu nggak pulang, gimana? Kayaknya Ibu nggak pulang deh… Novena kita gagal…” ucapnya dengan suara bergetar seraya menunduk kecewa. Ah, Noven, dalam hatiku gelisah mendengarmu. Kuhampiri dia, duduk di sofa. Ia pun membalikkan badannya dan merebah lelah di sofa. “Novena kita gagal, Yah…” Otakku berpikir cepat ingin menanggapi ungkapannya dengan tepat.

“Noven, tahu nggak, dulu waktu Ayah dan Ibu menginginkan kehadiranmu, kami juga berdoa Novena. Berdoanya tidak hanya sekali, tapi sembilan kali. Tadinya Ayah kira juga gagal, tapi Ibumu yang tekun mengajak Ayah untuk terus melanjutkan Novena itu. Akhirnya doa kami terkabul. Jadinya ada kamu deh!” sahutku dengan senyum yang sengaja kubuat agar menenangkan hatinya. Noven terdiam. Ia memandang kembali melalui lubang-lubang kecil gorden bordiran itu.

“Ayah, besok kita Novena lagi ya? Siapa tahu kali ini berhasil.” Perkataan Noven begitu polos. Aku mengangguk. Ketekunan Noven pasti turunan dari ketekunan Ibunya. Mungkin ini juga menjadi kesempatan bagiku untuk memohon hati yang besar, hati yang bisa mengampuni isteriku, hati yang rela melepaskan kesombonganku agar kebahagiaan Noven dan keutuhan hidupku dapat terpenuhi kembali. Barangkali Tuhan memberi waktu bagiku untuk merendahkan hati.

“Noven,… Noven nggak marah sama Ibu? Ibu kan udah ninggalin Noven?” tanyaku, berusaha mencari alasan baik. Siapa tahu aku punya peluang untuk tidak melanjutkan novena dengan intensi yang satu itu. “Ya, Noven kesal sama Ibu. Tapi Noven juga sayang Ibu. Dulu Ibu banyak mbantuin Noven… Noven pengen Ibu pulang…” nada suaranya semakin bergetar. Akhirnya ia menangis di pelukanku.

Rasanya aku malu. Hati Noven masih begitu murni sehingga ia begitu mudah mengampuni Ibunya. Sementara aku yang merasa diri sudah matang luar-dalam, justru masih harus belajar mengampuni dari seorang anak. Barangkali Tuhan memang menyuruhku berdoa Novena, bukan hanya sekedar untuk mengiringi Noven dengan intensi kepulangan Ibunya, melainkan supaya aku juga punya waktu untuk berbenah diri dan berbersih hati.

“Bunda Maria, Perawan yang Kuasa… mohonkanlah kerendahan hati bagiku, agar aku dapat memiliki hati seperti Noven. Mohonkanlah hati yang penuh pengampunan, agar aku dapat menerima isteriku bila ia memutuskan untuk kembali. Bila kehendakku bukan kehendak-Nya, semoga engkau menemaniku dalam mengarungi hidup ini bersama Noven.” Doaku menggema di relung batinku.



RRGN, 8.VII.11

No comments:

Post a Comment