Geger!
Semua mata yang berkerumun di depan gua Natal terbelalak menatap pada satu
titik. Spontan semua kaget dan tersentak. Semua terdiam. Beberapa detik
kemudian mulailah terdengar desah resah gelisah diiringi dengan guman-gumam
bernada tinggi bagai sekelompok lebah.
“Gimana ini, kok bisa gini?”
“Ini siapa yang punya ulah?”
“Ini pasti ada dalangnya. Ini pasti
ada oknumnya!”
“Cepat, lapor polisi!”
“Jangan! Baiknya bilang dulu sama Romo!”
Kerumunan
yang makin bertambah banyak itu pun mulai bergeliat menunjukkan pola pikir yang
ada di dalam masing-masing kepala.
“Ehem…ehem….ini ada apa?” Suara
serak berat berdehem yang diiringi dengan logat Londo itu langsung menjadi
pusat perhatian kedua. Sang Ketua Panitia Natal mulai berkeringat dingin seolah
menjadi terdakwa yang bertanggung jawab akan kegegeran ini. Bingung tak tahu
bagaimana menjawab pertanyaan itu. “Eh, anu Romo…eh….eng…patungnya
hilang…Ehm..Patung Bayi Yesusnya….” Kata salah seorang berusaha menyelamatkan
kebingungannya. “Hilang bagaimana maksudmu?” tanya Pastor itu. “Eh…ya…ini Romo
bisa lihat sendiri.”
Kerumunan itu membuka jalan bagi
Sang Pastor untuk dapat mendekat ke Gua Natal. Gua Natal rancangan para mudika
paroki masih tertata apik. Lengkap dengan dekorasi kontras ala anak muda.
Sebuah diorama Kisah kelahiran Yesus Kristus yang syahdu romantis, dihiasi
gambar-gambar bernuansa keprihatinan bangsa. Anak yang busung lapar, pedagang
kaki lima yang sedang digusur, pengemis yang meminta di kolong jembatan tol,
dan illustrasi-ilustrasi sejenisnya. Namun Sang Pastor tahu ada sesuatu yang
ganjil. Ia pun turut menjadi bagian dari kerumunan yang masih kaget itu.
Matanya yang kebiru-biruan memandang tak berkedip pada palungan yang kosong.
Kerut di keningnya menambah koleksi lipatan di wajah senjanya. “Siapa yang
mengambil patung Bayi Yesus?” tanyanya. “Itu dia Romo, kami juga tidak tahu.
Apa yang harus kami lakukan sekarang Romo? Ini masa Natal, masa gua Natalnya
tak ada bayi Yesus?” Tanya salah satu dari kerumunan itu. “Wah, kalau ketahuan
umat paroki lain, bisa malu kita. Masa paroki segini kaya dan gede tak mampu
membeli patung Natal yang lengkap. Apa kata orang nanti?” Sambung yang lain. “Ya sudah, gimana kalau
Patung Maria dan Yosefnya kita ambil saja, biar ceritanya pas. Keluarga Kudus
sedang mengungsi ke Mesir. Jadi palungannya kosong hehehe….” Usul seorang muda.
“Huuu…Dasar dung-dung pethok, kalau ngomong selalu asal buanget!!” protes
menyusul kemudian.
“Sebentar…tenang dulu…” kata Sang
Pastor sambil mengangkat tangannya dan menenangkan umatnya. “Sebenarnya
bagaimana kok bisa sampai seperti ini? Tolong jelaskan!” sambungnya. “Begini
Romo. Tadi saya mau berdoa di depan gua Natal ini, tapi saya lihat bahwa
palungan itu kosong. Saya pikir mungkin patung bayi Yesusnya tak sengaja nggelimpang dan jatuh. Terus saya
cari-cari di dalam gua itu tapi ya nggak ada. Maka saya lapor kepada Pak Ketua
Panitia dan Beliau ini langsung datang kemari. Begitu Romo.” Kata seorang umat
menjelaskan. “Romo, saya juga sudah sejak subuh tadi ada di gereja, tapi saya ndak lihat ada orang lain yang masuk
gereja setelah bubar Misa pagi tadi kecuali Bapak ini” kata Koster sambil
menunjuk pada umat yang menjelaskan tadi. “Ini pasti kerjaannya anak mudika
yang iseng menyembunyikan patung itu!” Tuduh seorang. “Bukan, mungkin ada yang
tak sengaja memecahkan patung itu tapi supaya tidak ketahuan, disembunyikan!”
Tuduh yang lain. “Mungkin ada yang mencuri patung itu untuk dijual. Wah, pasti
lakunya itu. Wong asalnya dari Roma
sana.” Semua mulai lagi menggumamkan suara pemikirannya satu per satu.
“Tenang…tenang…Tunggu dulu!” Kata
Sang Pastor. “Kita tidak boleh bertindak gegabah. Bagaimanapun juga, gua Natal
tidak akan lengkap tanpa bayi Yesus di palungan. Jangan saling tuduh. Jangan
saling tuding. Yang penting adalah kita bisa menemukan kembali patung itu.
Sekarang coba kita cari tahu dulu. Kita cari informasi, siapa tahu ada saksi
mata yang bisa membantu kita. Ayo coba, kita cari. Mudah-mudahan patung itu
dapat segera kita temukan.” Kalimat itupun berkhasiat membubarkan kerumunan
yang kini berlomba menemukan patung bayi Yesus.
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Rumah sepetak itu sangat sederhana.
Beralaskan pasir, beratapkan terpal, bertembok jajaran bambu tua, berpenerang
bulan dan matahari, beraroma semacam NH4SO4. Mungkin tak
pantas lagi orang menyebutnya rumah dan memang rumah itu lebih mirip kandang
ayam daripada tempat kediaman manusia. Penghuninya pun serupa. Rambutnya gimbal
dan kucel sekucel sehelai kain yang menutupi badannya yang tinggal tulang.
Kulitnya kering mengerut dimakan usia. Bau badannya tak jauh dari aroma pesing
yang mengganggu. Perempuan itu tak peduli apa kata orang. Perempuan itu kini
sedang asyik dengan momongan barunya, sedang bibirnya menggumamkan lagu “Malam
Kudus”. Ditengah-tengah keasyikkannya, ia merasa diganggu. Ia terganggu oleh
sekerumunan orang yang masuk dengan liarnya. “Nah, ini dia nih malingnya. Dasar
orang nggak waras, sudah dikucilkan masih juga mengganggu kita! Tuh, lihat!
Benar kan?! Patung bayi Yesus ada ditangannya! Dah, kita bawa saja ke gereja.
Kita selesaikan di sana! Biar Romo tahu siapa yang harusnya bertanggung jawab!”
Amuk mulai menggelegar. Kerumunan berarak menjauh, sementara di tengah mereka,
perempuan tadi dibopong beserta patung bayi Yesus yang didekapnya.
= = = = = = = = = = = = =
Sang Pastor mengintip dari balik
tirai pastoran. Dilihatnya perempuan itu masih mendekap patung Bayi Yesus.
“Siapa dia itu? Rasanya saya tidak pernah melihat dia” Tanya Sang Pastor.
“Sebenarnya dia dulu umat paroki kita, Romo. Konon dia seorang penulis dan
penyair. Suaminya bangkrut dalam wirausahanya dan meninggalkan dia tanpa apa2.
Dia kehilangan akal sehatnya sejak dia ditinggal mati kedua anak kembarnya
dalam sebuah kecelakaan. Sanak saudaranya tidak diketahui. Dia mengalami
goncangan jiwa yang cukup parah. Kelakuannya mulai meresahkan masyarakat.
Kadang meneriakkan puisi2nya, kadang bermain drama di tengah malam. maka ia
dikucilkan.” Kata Ketua Panitia Natal. “Oh…” Lirih Sang Pastor sambil
mantuk-mantuk. Tangannya perlahan kembali menyibak tirai. Dilihatnya perempuan
itu membelai dan mengecup patung bayi Yesus. Samar ia mendengar perempuan itu
menggumam sepatah demi sepatah: “Yesusku….. ha…nya Eng...kau… yang ku…miliki.
Ja…ngan per…gi. Di sini saja… Ting…gal disini saja. Bersama…ku”
= = = = = = = = = = = = = =
Jakarta,
31 Desember 2005
03:27
A.M
~ duduk di depan gua Natal gerejaku~
No comments:
Post a Comment